Perlunya Pertimbangan untuk Relawan Gaza
Tri Indra Purnama
Operasi militer yang dilakukan Israel terhadap Gaza pada
Selasa (8/7/2014) mendapat respon keras dari masyarakat Indonesia. Aksi itu dianggap sebagai hal yang tidak
berkeperi manusiaan. Rajutan empati tersebut begitu kuat, tak sedikit
masyarakat Indonesia yang terpanggil untuk menjadi relawan.
Dukungan pun mengalir diberbagai media sosial. Mereka
berbondong-bondong menggalang dana untuk Palestina. Tanda tagar seperti
#PrayForPalestine, #SavePalestine, #PrayForGaza, #SaveGaza pun ramai bermunculan
di media sosial.
Pelbagai Ormas Islam mengajak masyarakat untuk ikut andil
langsung, tak hanya sebatas menggalang dana. Kata Jihad pun marak digunakan
oleh mereka untuk merayu seseorang agar mau menjadi relawan dan berjihad ke
Gaza, Palestina.
Pertimbangan Khusus
Keinginan menjadi relawan untuk berjihad di tanah Palestina
tak sekedar bentuk empati, melainkan terdapat pertimbangan-pertimbangan yang
harus ditempuh. Pertama, adalah kondisi dan situasi di Palestina. Penting untuk
mengetahui dengan baik bagaimana situasi yang ada.
"Para relawan Indonesia hendaknya tidak berkunjung ke Gaza
dalam kondisi saat ini," kata Dubes Nurfaizi di Kairo, Jumat (11/7/2014),
seperti diwartakan Antaranews.com. Tambahnya, saat ini pintu
perbatasan yang menghubungi Mesir dan Jalur Gaza, Rafah, ditutup oleh Badan Sandi Negara Mesir.
Himbauan di atas merupakan gambaran mengenai kondisi sebenarnya
di Gaza. Menalar jauh situasi dan kondisi menjadi penting. Mempelajari medan
sebuah keharusan. Tidak sekedar tekad kuat dan kemauan kuat.
Kedua, adalah mental yang kuat. Butuh keberanian dan keyakinan
tinggi untuk menjadi relawan. Kita harus meyakinkan bahwa mati adalah
kemungkinan tak terelakan. Relawan yang ingin berperang harus berani mati dan
siap meninggalkan yang dicintai.
Ketiga, bekal pengetahuan. Megetahui situasi yang ada dan mental
yang kuat belum cukup untuk menjadi mujahidin. Ada hal yang perlu disiapkan
sebelum menginjakan kaki ke Gaza seperti strategi militer, fasih berbahasa Arab
dan fisik yang kuat.
“Tidak
mudah. Di antaranya, misal, harus fasih berbahasa Arab, tahu strategi militer
perang kota, dan kuat fisik dalam gerilya di daerah yang panas-dingin itu,”
kata Mohammad Adnan, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah,
dilansir dari nu.or.id.
Relawan
harus menyiapkan bekalnya sebelum terjun dalam medan perang. Mempelajari bahasa
dan budaya setempat amat perlu untuk mengantisipasi kondisi di lapangan.
Strategi militer dan bekal militer adalah mutlak untuk relawan yang ingin
berperang. Sama halnya ingin mengenderai sepeda motor, kita pun harus
mengetahui bagaimana mengoperasikan mesin motornya.
Empati Buta
Ketiga pertimbangan di atas penting untuk dipenuhi oleh
relawan yang ingin berjihad. Menjadi mujahidin tidak lah mudah. Terdapat
pertimbangan ketat. Tak sembarang hanya empati buta atas nama agama.
Hal itu yang perlu ditekankan oleh masyarakat dan umat muslim
khususnya. Jihad itu banyak bentuknya. Tak harus menjadi relawan perang,
menggalang dana dan mendoakan rakyat Palestina pun bagian dari jihad.
Pemahaman mengenai anjuran agama harus digali luas. Diskusi
dengan orang-orang yang lebih memahami agama sebelum bertindak adalah penting.
Jangan mudah terprovokasi atas isu yang tumpah ruah. Terlebih
hanyut dalam kepentingan tertentu dalam kedok agama. Sumber informasi harus
melalui tahapan pennyaringan. Bukan langsung diserap apa adanya.
Empati buta adalah sebuah kesesatan perasaan yang tak
rasional. Lebih mengedepankan perasaan tanpa pertimbangan akal sehat. Hal
tersebut dapat menjadi racun bagi diri sendir. Bukan kata jihad nantinya,
melainkan teror!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar