Sabtu, 12 Juli 2014

Pemikiran Politik Al-Farabi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Dalam sebuah kehidupan bagaimana syrat-syarat suatu Negara yang ideal, kepala Negara yang ideal, system pemerintahan yang ideal, maka perlulah kita sebagai kalangan akademis untuk mengkaji sis tem,bentuk dan kepala Negara yang ideal untuk Negara kita ini atau untuk berbagai Negara yang lain.
Sebelum kita merumuskan itu semua, kita perlu untuk mempelajarai bagaimana para tokoh-tokoh politik islam dan barat meramu gagasan mereka dalam sebuah tulisan.
Berkaitan mata kuliah Pemikiran Politik Islam, kita ditugaskan untuk mempelajari bagaimana pemikira-pemikiran tokoh politik islam di zaman islam klasik sampai kontemporer untuk membandingkan atau bisa digunakan bahan referensi yang tepat untuk pembelajaran ini. disini saya pelaku pemakalah akan mengulas tentang suatu tokoh yang sering disebut-sebut sebagai maha guru kedua setelah aristoteles yaitu Al-Farabi. Bagaimana tipe-tipe Negara ideal menurutnya, masyarakat, demokrasi, kepala Negara dan lain-lain akan dibahas secara ringkas di dalam suatu makalah yang dibuat oleh pemakalah yang ditujukan kepada teman-teman sejawat di kelas.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi
Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi (870-950, singkat Al-Farabi adalah ilmuwan dan filsuf Islam yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Ia juga dikenal dengan nama lain Abū Nasir al-Fārābi (dalam beberapa sumber ia dikenal sebagai Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah Al- Farabi , juga dikenal di dunia barat sebagai Alpharabius, Al-Farabi, Farabi, dan Abunasir. Kemungkinan lain adalah Farabi adalah seorang Syi’ah Imamiyah (Syiah Imamiyah adalah salah satu aliran dalam islam dimana yang menjadi dasar aqidah mereka adalah soal Imam) yang berasal dari Turki.
Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak dini ia digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajari. Pada masa awal pendidikannya ini, al-Farabi belajar al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqh, tafsir dan ilmu hadits) dan aritmatika dasar. Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu islam dan musik di Bukhara, dan tinggal di Kazakhstan sampai umur 50. Ia pergi ke Baghdad untuk menuntut ilmu di sana selama 20 tahun.
Setelah kurang lebih 10 tahun tinggal di Baghdad, yaitu kira-kira pada tahun 920 M, al Farabi kemudian mengembara di kota Harran yang terletak di utara Syria, dimana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia kecil. Ia kemudian belajar filsafat dari Filsuf Kristen terkenal yang bernama Yuhana bin Jilad. Tahun 940M, al Farabi melajutkan pengembaraannya ke Damaskus dan bertemu dengan Sayf al Dawla al Hamdanid, Kepala daerah (distrik) Aleppo, yang dikenal sebagai simpatisan para Imam Syi’ah. Kemudian al-Farabi wafat di kota Damaskus pada usia 80 tahun (Rajab 339 H/ Desember 950 M) di masa pemerintahan Khalifah Al Muthi’ (masih dinasti Abbasiyyah).
Al-Farabi adalah seorang komentator filsafat Yunani yang ulung di dunia Islam. Meskipun kemungkinan besar ia tidak bisa berbahasa Yunani, ia mengenal para filsuf Yunani; Plato, Aristoteles dan Plotinus dengan baik. Kontribusinya terletak di berbagai bidang seperti matematika, filosofi, pengobatan, bahkan musik. Al-Farabi telah menulis berbagai buku tentang sosiologi dan sebuah buku penting dalam bidang musik, Kitab al-Musiqa. Selain itu, ia juga dapat memainkan dan telah menciptakan bebagai alat musik. Al-Farabi dikenal dengan sebutan "guru kedua" setelah Aristoteles, karena kemampuannya dalam memahami Aristoteles yang dikenal sebagai guru pertama dalam ilmu filsafat.
Dia adalah filsuf Islam pertama yang berupaya menghadapkan, mempertalikan dan sejauh mungkin menyelaraskan filsafat politik Yunani klasik dengan Islam serta berupaya membuatnya bisa dimengerti di dalam konteks agama-agama wahyu. Al-Farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sayf al Dawla dan di zaman pemerintahan dinasti Abbasiyyah, yang berbentuk Monarki yang dipimpin oleh seorang Khalifah. Ia lahir dimasa kepemimpinan Khalifah Mu’tamid (869-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Khalifah Al-Muthi’ (946-974 M) dimana periode tersebut dianggap sebagai periode yang paling kacau karena ketiadaan kestabilan politik.
Dalam kondisi demikian, al-Farabi berkenalan dengan pemikiran-pemikiran dari para ahli Filsafat Yunani seperti Plato dan Aristoteles dan mencoba mengkombinasikan ide atau pemikiran-pemikiran Yunani Kuno dengan pemikiran Islam untuk menciptakan sebuah negara pemerintahan yang ideal (Negara Utama).
B. Masyarakat
Menurut al-farabi, manusia adalah mahkluk sosial dan secara fitrah manusia cenderung hidup bermasyarakat untuk mencapai kebahagiaannya baik di dunia maupun di akhirat. Dari interpretasi ini lah beliau membagi tiga bentuk masyarakat yaitu masyarakat sempurna yaitu masyarakat yang mampu mengatur dan membawa dirinya sendiri untuk menggapai kebaikan tertinggi, masyarakat kurang sempurna yaitu masyarakat yang tidak bisa mengatur dan membawa dirinya sendiri pada keutamaan tertinggi. dan masyarakat tidak sempurna yaitu kehidupan sosial di tingkat kampong,desa lorong dan keluarga. Kebaikan dan keutamaan yang dimaksut disini adalah kebahagiaan dan kebahagiaan yang dimaksut adalah tercapainya kemampuan untuk aktualisasi potensi jiwa dan pikiran. Pembagian dalan bentuk masyarakat sempurna meliputi :
1. Masyarakat sempurna besar (udhma)
Yaitu gabungan banyak umat yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu atas kerja sama ataun dapat dikatakan masyarakat sempurna besar adalh perserikatan bangsa-bangsa.
2. Masyarakat sempurna sedang ( al-Mujtama al-Wustha)
Yaitu masyarakat yang terdiri dari satu bangsa (ummat) yang menghuni di salah satu wilayah dari bumi ini. atau bisa dikatakan sebagai Negara nasional.
3. Masyarakat sempurna kecil ( al-mujtama al-Sughra)
Yaitu masyarakat yang terdiri dari para pewnghuni suatu kota atau dapat dikatakan Negara kota.
Selanjutnya al-farabi menyatakan bahwa dari ketiga bentuk masyarakat tersebut, maka masyarakat kecil yang termanifestasikan Negara kota merupakan system atau pola politik yang terbaik, paling sempurna dan teristimewa.
C. Negara
Dalam masalah pembagian bentuk Negara, Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk. Antara lain :
1. Negara utama (al-madinah al-fadilah).
Inilah negara yang penduduknya berada dalam kebahagiaan. Bentuk negara ini dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf.
2. Negara orang-orang bodoh (al-madinah al-jahilah).
Inilah negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
3. Negara orang-orang fasik.
Inilah negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
4. Negara yang berubah-ubah (al-madinah al mutabaddilah).
Penduduk negara ini awalnya mempunyai pikiran dan pendapat seperti yang dimiliki penduduk negara utama, tetapi mengalami kerusakan.


5. Negara sesat (al-madinah ad-dallah).
Negara sesat adalah negara yang pemimpinnya menganggap dirinya mendapat wahyu. Ia kemudian menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.
Negara utama menurut Al-Farabi diibaratkan sebagai badan manusia yang sempurna dan sehat (al-badan al-Tan al_shahih), yang semua organ badannya bekerja semua sesuai dengan tugasnya masing-masing. Tubuh manusia mempunyai sejumlah organ atau anggota badan dengan fungsinya masing-masing yang tidak sama antara satu dengan lainnya. Dari organ yang banyak itu terdapat satu organ pokok dan paling vital, yaitu jantung dan beberapa organ lain yang tingkat kepentingannya sama dengan jantung dan bekerja dengan kodrat, masing-masing membantu jantung. Organ-organ ini bersama-sama jantung menduduki peringkat pertama. Di luar itu terdapat sekelompok orang lain yang kerjanya membantu dan melayani organ-organ pendukung jantung, dan organ-organ ini berada pada tingkat kedua. Lalu ada sekelompok organ lain lagi yang membantu organ peringkat kedua tadi,demikianlah seterusnya sampai kepada organ tubuh yang tugasnya hanya melayani anggota-anggota tubuh yang lain dan tidak dilayani.
Al-farabi selanjutnya menyatakan, demikian juga dengan Negara. Terdapat komponen-komponen penting yang berada pada peringkat pertama, kedua dan ketiga. Ada kepala Negara, ada pembantu-pembantunya, ada lembaga-lembaga tinggi Negara, dan seterusnya yang kesemuanya bekerja sesuai dengan tugas dan tujuannya masing-masing. Hanya bedanya kalau organ-organ badan itu bekerja atas dasar tabiatnya (secara fitrah) masing-masing, tetapi kalu komponen-komponen Negara bekerja atas dasar kehendak (iradiyah) dan keahlian (capability).
Menurut Al-Farabi, negara atau kota merupakan suatu kesatuan masyarakat yang paling mandiri dan paling mampu memenuhi kebutuhan hidup antara lain: sandang, pangan, papan, dan keamanan, serta mampu mengatur ketertiban masyarakat, sehingga pencapaian kesempurnaan bagi masyarakat menjadi mudah. Negara yang warganya sudah mandiri dan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan yang nyata , menurut al-Farabi, adalah Negara Utama. Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. yang diikuti dengan segala prinsip-prinsipnyaprinsip-prinsipnya (mabadi) yang berarti dasar, titik awal, prinsip, ideologi, dan konsep dasar. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak serta jenis negara. Menurut Al-Farabi perkembangan dan atau kualitas negara ditentukan oleh warga negaranya. Mereka juga berhak memilih seorang pemimpin negara, yaitu seorang yang paling unggul dan paling sempurna diantara mereka .
D. Syarat-syarat Pemimpin Negara
Pemimpin Negara utama menurut Al-Farabi adalah seorang imam (pemimpin),kepala Negara yang memiliku kelebihan,[emimpin yang dapat membangun negaranya. Oleh karena itu untuk mendapatkan pemimpin harus mendapatkan 12 kriteria, yaitu:
1. Sempurna seluruh anggota tubuhnya
2. Baik daya pemahamannya dan pemikirannya serta kuat ingatannya
3. Tinggi intelektualitasnya
4. Pembicaraannya mudah dimengerti, tidak berbelit-belit
5. Pencinta pendidikan dan menyukai pengembangan ilmu
6. Tidak rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita
7. Pencinta kejujuran, kebenaran dalam ucapan dan perilaku dan membenci kebohongan
8. Berwibawa, berjiwa besar dan berbudi luhur
9. Tidak memadang penting kekayaan dan kesenganan duniawi, semuannya dianggao sebagai fasiltas
10. Pencinta keadilan dan membenci perbuatran zalim
11. Tidak sukar untuk menegakkan keadilan, tatapi sulit utuk menyetujui tindakan keji dan kufur
12. Kuat pendiriannya (memiliki komitmen tinggi) terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, tanpa ada rasa takut atau berjiwa lemah dan kerdil.
Menurut Al-Farabi, jika semua syarat ini tidak terdapat pada seseorang karena sedikit sekali orang yang memiliki sifat-sifat tersebut, maka sifat-sifat ini harus dibagi kepada beberapa orang, diantaranya pertama pembuat kebijakan, kedua orang yang menegakkan keadilan, ketiga ahli pembuat undang-undang, keempat ahli dalam perang, kelima orang-orang yang menyampaikan petunjuk fatwa dan seterusnya. Kepala Negara utama menurut al-farabi adalah seorang guru/filsuf yang mengeluarkan petunjuk/fatwa dan pengelola (manajer).
E. Kota Demokratis
Kota demokratis dalam pemikiran politik al-Farabi nampaknya adalah sebuah alternatif untuk terwujudnya sebuah kota utama. Model kota utama yang terlalu idealistik, dan juga mensyaratkan adanya seorang pemimpin yang sempurna, karena pemimpin yang sempurnalah yang mampu menujukkan dan mengarahkan yang dipimpinnya pada kebahagiaan, yang tentu akan sulit sekali ditemukan sosoknya. Sedangkan manusia membutuhkan sebuah institusi negara untuk dapat menjalani hidup mereka. Oleh karena itu muncul opsi kota demokratis, di mana seperti yang dikatakan al-Farabi dalam al-Siyasah al-Madaniyah bahwa kota ini akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang diidealkan, paling tidak memiliki peluang lain yang lebih besar daipada kota dengan model lainnya. “Sangatlah mungkin bahwa lama-kelamaan orang-orang utama akan bermunculan di kota itu. Yakni filosof, ahli retorika, dan penyair, yang menggeluti berbagai hal. Ada kemungkinan pula untuk mengumpulkan, sedikit demi sedikit dari kota itu (orang-orang) tertentu (yang membentuk) bagian dari kota utama itu. Inilah hal terbaik yang terjadi di kota seperti itu”. Kota demokrasi sendiri adalah kota di mana penduduknya memiliki kebebasan dan keleluasaan untuk melakukan apa yang diinginkannya. Dan untuk membentuk kota utama, karena sulitnya mewujudkan kota utama secara langsung, maka cara yang paling efektif adalah dengan terlebih dahulu membentuk kota demokratis yang memiliki kebaikan dan keburukan yang berjalan beriringan

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari berbagi ulasan diatas, kita bisa mengambil kesimpulan bagaiman corak pemikiran politik al-farabi di masa tersebut. Al-farabi seakan-akan tidak memperdulikan bagaimana bentuk-bentuk Negara di masa hidupnya, malah yang dia tulis dalam pemikirannya adalah bentuk Negara yang bisa dibilang sangat terinspirasi oleh para filsuf yunani terutama plato dan aristoteles.
Menarik bagaimana Al-farabi memberi berbagai syarat-syarat tentang bagaimana pemimpin yang harus mempin Negara. Beliau member syarat yang ketat untuk seorang pemimpin yang ingin menaiki jabatan kepala Negara. Ini ditujukan karena al-farabi sendiri ingin suatu Negara bisa dipimpin oleh seorang yang pemimpin yang jauh dari sifat kekufuran, singkatnya dalam hal intelektual sangat bai, spiritual baik, dan emosional juga baik.
Secara ringkas, pemakalah meminta maaf atas apabila ada kekurangan atau kesalahan dalam penulisan makalah ini. itu semua disebabkan karena keterbatasan data yang diperoleh pemakalah. Akan tetapi sejujurnya, makalah ini ditujukan agar berguna bagi teman-teman dalam menempuh pembelajaran di kuliah bidang pemikiran politik islam.


Refferensi :

1. Al-Farabi, “Biografi, Kehidupan dan Pembelajaran dan Buah Karyah,” artikel diakses pada 11 mei 2010 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Al-Farabi. html
2. Munawir Sadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1993), h. 51.
3. Sirojuddin ALy, Pemikiran Politik Islam, Diktat Mahasiswa Pemikiran Politik Islam.
4. Al-Farabi, “Biografi, Kehidupan dan pembelajaran.”
5. Sirojuddin ALy, Pemikiran Politik Islam
6. Didik Adriawan, “Al-Farabi dan Pemikirannya“ artikel diakses pada 11 mei 2010 dari http://didikandriawan.blogspot.com/2010/01/al-farabi-dan-pemikirannya. html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar