Sabtu, 12 Juli 2014

Refleksi Elit dan Konsolidasi Demokrasi dalam Pilpres 2014

Refleksi Elit dan Konsolidasi Demokrasi dalam Pilpres
Tri Indra Purnama
Pemilu Presiden 2014 memberikan dampak kurang baik terhadap penguatan demokrasi di Indonesia. Salah satunya adalah sikap dan perilaku elit yang bertentangan dengan upaya demokratisasi. Bukan berarti Pemilu Presiden kali ini tidak menghasilkan sesuatu yang positif. Berjalannya pesta demokrasi dengan jalur yang damai patut diapresiasi. Minimnya tingkat kerusuhan sebuah hal yang konstruktif bagi demokrasi. Namun, poin penting dari semua itu adalah tahapan konsolidasi demokrasi di Indonesia.


Indonesia pertama kalinya melakukan pemilu presiden dengan hanya dua calon pasangan presiden dan wakil presiden; pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko Widodo-Jusuf kalla. Karena terpusatnya hanya dua pasangan, pilpres kali ini menjadi pusat perhatian tinggi dari masyarakat.

Beragam visi misi masing-masing calon pasangan telah dipaparkan. Pun berbagai rekam jejak dari mereka telah disampaikan. Tujuannya tidak lain untuk memberikan informasi kepada masyarakat. Agar mereka mau dan dapat menentukan pilihannya.

Namun, cara kubu masing-masing pasangan dalam berkampanye tidak memberikan kesan yang baik terhadap masyarakat. Pun penyampaian informasi dengan cara kampanye gelap dan kampanye negatif kerap dilakukan oleh tim-tim pemenangan masing-masing calon pasangan. Mereka saling menjatuhkan dan saling menyerang dengan pernyataan yang negatif. Bahkan, menciptakan informasi yang menyesatkan kepada masyarakat dalam bentuk kampanye gelap mereka.

Korbannya adalah masyarakat. Opini publik yang dibangun media menciptakan informasi yang rancu bagi masyarakat. Mereka bingung informasi apa yang harus dipercayai kebenaranya dan calon pasangan mana yang lebih baik dari calon pasangan lain.
Peran lembaga survei dalam merilis data mengenai elektabilitas masing-masing capres dan cawapres pun dipertanyakan keabsahannya. Hal tersebut dikarenakan hasil data yang berbeda-beda dari setiap lembaga survei.

Paska pemilihan presiden 9 Juli 2014, terjadi kasus yang serupa. Berdasarakan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei, masing-masing kubu capres dan cawapres mengklaim telah meraih kemenagan. Lanjutnya, mereka mendeklarasikan kemenangan.

Dari polemik yang muncul di atas, bisa dikatakan bahwa elit-elit politik negara masih belum bisa berperilaku 
demokratis. Penguatan demokrasi atau konsolidasi demokrasi di Indonesia dipertanyakan apabila perilaku elitnya masih meciderai demokrasi itu sendiri. Berperilaku negatif dan memenintingkan segala cara untuk mendapatkan tujuan. Bukan berperilaku konstruktif terhadap demokrasi.

Norma dan Perilaku elit dalam Konsolidasi Demokrasi
Sejatinya, konsolidasi demokrasi bukan sebatas norma atau sikap, apalagi ucapan, melainkan perilaku. Sebuah rezim demokrasi bisa jatuh menjadi rezim otoriter ketika para elit tidak bisa menjaga sebuah transisi dan memperteguh demokrasi.

Menurut Larry Diamond, konsolidasi berlangsung dalam dua dimensi, yakni norma dan perilaku dan berada pada tiga tingkatan: para elit negara, organisasi dan massa -dalam hal ini penulis hanya memusatkan pada tingkatan elit negara- (Larry Diamond, 2003:85).

Pada dimensi norma, tingkat tertinggi yakni elit negara, harus percaya pada legitimasi demokrasi. Yang dimaksut elit negara ialah para pembuat keputusan, para pemimpin organisasi, para aktivis politik dan para pembentuk opini. Mereka harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan dan lembaga-lembaga dari sistem konstitusional tersebut layak mendapat dukungan. Keyakinan-keyakinan ini terwujud dalam retorika publik, ideologi tulisan-tulisan dan gerak-gerak simbolis mereka.

Pada dimensi ini, elit-elit politik di Indonesia bisa dikatakan sudah terpenuhi. Sikap pada pembangunan demokrasi dengan mengikuti pemilu, pengakuan HAM, kebebasan pers dan toleransi agama telah tercipta.
Bagaimana dengan dimensi perilaku para elit negara? Menurut Diamond, para pemimpin pemerintahan, pemimpin lembaga negara dan kelompok-kelompok kepentingan, saling menghargai hak satu sama lain untuk bersaing memperebutkan kekuasaan secara damai, menjauhkan diri dari kekerasan dan mematuhi hukum, konstitusi dan norma-norma perilaku politik yang diterima secara bersama. Para elit menghindari retorika yang dapat menghasut para pengikut mereka pada kekerasan, intoleransi atau metode-metode illegal (Larry Diamond, 2003:86).

Dalam kasus pilpres kali ini, perilaku elit negara terhadap konsolidasi demokrasi jauh dari apa yang dimaksut Diamond. Kubu masing-masing capres malah berperilaku saling menjatuhkan dan menuding. Menghasut masyarakat dengan kampanye gelap, menciptakan kondisi politik yang panas, mengklaim kemenangan berdasarkan sumber yang bukan ditetapkan secara hukum.

Elit-elit politik yang diharapkan dapat berperan terhadap meningkatnya demokrasi justru bersikap dan bertindak sebaliknya. Melihat sikap dan tindakan mereka dalam berdebat, lebih kepada mempertahankan argumen ketimbang menghasilkan solusi.

Pelbagai pejabat dan tim sukses masing-masing calon presiden dan wakil presiden mendukung tindakan yang mereduksi demokrasi. Dari melakukan kampanye hitam hingga mengklaim kemenangan berdasarkan data hitung cepat lembaga survei, bukan hasil keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Kampanye hitam yang merebak luas di kalangan masyarakat memberikan ironi tersendiri. Ditambah masing-masing kubu saling menyerang terhadap pasangan lain dengan mengatasnamakan kebenaran. Bahkan menuduh.

Konglomerasi media pun ikut andil dalam menciptkan iklim politik yang tidak sehat. Pelbagai media cetak dan elektronik menyiarkan berita yang tidak berimbang. Mereka memberitakan opini sesuai dengan dukungannya terhadap calon tertentu.  Tuding menuding dan menjelakan pun tak terhindarkan.
Peran elit sangat sentral dalam memperteguh demokrasi di Indonesia. Elit-elit negara tidak hanya bersikap demokratis, melainkan berperilaku demokratis. Dalam pilpres, masing-masing pasangan harus siap kalah. Mengakui kekalahan. Menerima kekalahan dengan lapang dada dan dengan kepala yang tegak. Mereka harus ingat, pilpres bukanlah tujuan, tetapi cara untuk meneruskan proses demokrasi Indonesia yang telah 16 tahun berlangsung paska reformasi.

Setiap hal yang dilakukan oleh elit-elit negara dalam pilpres harus dilakukan dengan cara damai. Tidak merusak demokrasi. Memberikan informasi yang sehat. Bukan menyesatkan.
Para elit negara harus memberikan contoh yang baik terhadap masyarakatnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat, dalam hal ini berkaitan dengan demokrasi, adalah tiruan dari apa yang sudah dilakukan para elit negara.


Dengan status sebagai negara demokrasi yang diakui dunia, Indonesia harus serius membangun dan menguatkan demokrasi. Capaian yang sudah ada, harus ditingkatkan dan dipertahankan. Sekarang lah momen di mana perwujudan dan pendewasaan dalam demokrasi bisa dilakukan. Bisakah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar