Refleksi
Elit dan Konsolidasi Demokrasi dalam Pilpres
Tri Indra Purnama
Pemilu
Presiden 2014 memberikan dampak kurang baik terhadap penguatan demokrasi di
Indonesia. Salah satunya adalah sikap dan perilaku elit yang bertentangan
dengan upaya demokratisasi. Bukan berarti Pemilu Presiden kali ini tidak
menghasilkan sesuatu yang positif. Berjalannya pesta demokrasi dengan jalur
yang damai patut diapresiasi. Minimnya tingkat kerusuhan sebuah hal yang
konstruktif bagi demokrasi. Namun, poin penting dari semua itu adalah tahapan
konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Indonesia pertama kalinya melakukan pemilu presiden dengan hanya dua calon
pasangan presiden dan wakil presiden; pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan pasangan Joko
Widodo-Jusuf kalla. Karena terpusatnya hanya dua pasangan, pilpres kali ini menjadi pusat perhatian tinggi dari
masyarakat.
Beragam visi misi masing-masing calon pasangan telah
dipaparkan. Pun berbagai
rekam jejak dari mereka telah disampaikan. Tujuannya tidak lain untuk memberikan
informasi kepada masyarakat. Agar mereka mau dan dapat
menentukan pilihannya.
Namun, cara kubu masing-masing pasangan dalam berkampanye
tidak memberikan kesan yang baik terhadap masyarakat. Pun
penyampaian informasi dengan
cara kampanye gelap dan kampanye negatif kerap dilakukan oleh tim-tim
pemenangan masing-masing calon pasangan. Mereka saling menjatuhkan dan saling
menyerang dengan pernyataan yang negatif. Bahkan, menciptakan informasi yang
menyesatkan kepada masyarakat dalam bentuk kampanye gelap mereka.
Korbannya adalah masyarakat. Opini publik yang dibangun media
menciptakan informasi yang rancu bagi masyarakat. Mereka bingung informasi apa yang harus dipercayai kebenaranya dan calon pasangan
mana yang lebih baik dari calon pasangan lain.
Peran lembaga survei dalam merilis data mengenai elektabilitas masing-masing capres dan cawapres pun
dipertanyakan keabsahannya. Hal tersebut dikarenakan hasil data yang
berbeda-beda dari setiap lembaga survei.
Paska pemilihan presiden 9 Juli 2014, terjadi kasus yang
serupa. Berdasarakan hasil hitung cepat dari berbagai lembaga survei,
masing-masing kubu capres dan cawapres mengklaim telah meraih kemenagan.
Lanjutnya, mereka mendeklarasikan kemenangan.
Dari polemik yang muncul di atas, bisa dikatakan bahwa
elit-elit politik negara masih belum bisa berperilaku
demokratis. Penguatan
demokrasi atau konsolidasi demokrasi di Indonesia dipertanyakan apabila
perilaku elitnya masih meciderai demokrasi itu sendiri.
Berperilaku negatif dan memenintingkan segala cara untuk mendapatkan tujuan. Bukan
berperilaku konstruktif terhadap demokrasi.
Norma
dan Perilaku elit
dalam Konsolidasi Demokrasi
Sejatinya,
konsolidasi demokrasi bukan sebatas norma
atau sikap, apalagi ucapan, melainkan perilaku. Sebuah rezim demokrasi bisa jatuh
menjadi rezim otoriter ketika para elit tidak bisa menjaga sebuah transisi dan
memperteguh demokrasi.
Menurut
Larry Diamond, konsolidasi berlangsung dalam dua dimensi,
yakni norma dan perilaku dan berada pada tiga tingkatan: para elit negara,
organisasi dan massa -dalam hal ini penulis hanya memusatkan pada
tingkatan elit negara- (Larry Diamond, 2003:85).
Pada
dimensi norma, tingkat tertinggi yakni elit negara, harus percaya pada
legitimasi demokrasi. Yang dimaksut elit negara ialah para
pembuat keputusan, para pemimpin organisasi, para aktivis politik dan para
pembentuk opini. Mereka harus percaya bahwa demokrasi adalah bentuk
pemerintahan terbaik dan bahwa aturan-aturan dan lembaga-lembaga dari sistem
konstitusional tersebut layak mendapat dukungan. Keyakinan-keyakinan ini
terwujud dalam retorika publik, ideologi tulisan-tulisan dan gerak-gerak
simbolis mereka.
Pada
dimensi ini, elit-elit politik di Indonesia bisa dikatakan sudah terpenuhi.
Sikap pada pembangunan demokrasi dengan mengikuti pemilu, pengakuan HAM,
kebebasan pers dan toleransi agama telah tercipta.
Bagaimana
dengan dimensi perilaku para elit negara? Menurut Diamond, para pemimpin
pemerintahan, pemimpin lembaga negara dan kelompok-kelompok kepentingan, saling
menghargai hak satu sama lain untuk bersaing memperebutkan kekuasaan secara
damai, menjauhkan diri dari kekerasan dan mematuhi hukum, konstitusi dan
norma-norma perilaku politik yang diterima secara bersama. Para elit
menghindari retorika yang dapat menghasut para pengikut mereka pada kekerasan,
intoleransi atau metode-metode illegal (Larry Diamond, 2003:86).
Dalam
kasus pilpres kali ini, perilaku elit negara terhadap konsolidasi demokrasi
jauh dari apa yang dimaksut Diamond. Kubu masing-masing capres malah
berperilaku saling menjatuhkan dan menuding. Menghasut masyarakat dengan
kampanye gelap, menciptakan kondisi politik yang panas, mengklaim kemenangan
berdasarkan sumber yang bukan ditetapkan secara hukum.
Elit-elit
politik yang diharapkan dapat berperan terhadap meningkatnya demokrasi justru
bersikap dan bertindak sebaliknya. Melihat sikap dan tindakan mereka dalam
berdebat, lebih kepada mempertahankan argumen ketimbang menghasilkan solusi.
Pelbagai
pejabat dan tim
sukses masing-masing calon presiden dan wakil presiden mendukung tindakan yang
mereduksi demokrasi. Dari melakukan kampanye hitam hingga mengklaim kemenangan
berdasarkan data hitung cepat lembaga survei, bukan hasil keputusan Komisi
Pemilihan Umum (KPU).
Kampanye
hitam yang merebak luas di kalangan masyarakat memberikan ironi tersendiri.
Ditambah masing-masing kubu
saling menyerang terhadap pasangan lain dengan mengatasnamakan kebenaran.
Bahkan menuduh.
Konglomerasi
media pun ikut andil dalam menciptkan iklim politik yang tidak sehat. Pelbagai
media cetak dan elektronik menyiarkan berita yang tidak berimbang. Mereka
memberitakan opini sesuai dengan dukungannya terhadap calon tertentu. Tuding menuding dan menjelakan pun tak
terhindarkan.
Peran elit sangat sentral dalam memperteguh demokrasi di
Indonesia. Elit-elit negara tidak hanya bersikap demokratis, melainkan
berperilaku demokratis. Dalam pilpres,
masing-masing pasangan harus siap kalah. Mengakui kekalahan. Menerima kekalahan
dengan lapang dada dan dengan kepala yang tegak. Mereka harus ingat, pilpres bukanlah tujuan, tetapi cara untuk meneruskan
proses demokrasi Indonesia yang telah 16 tahun berlangsung paska reformasi.
Setiap hal yang dilakukan oleh elit-elit negara dalam pilpres harus dilakukan dengan cara damai. Tidak merusak
demokrasi. Memberikan informasi yang sehat. Bukan menyesatkan.
Para elit negara harus memberikan contoh yang baik
terhadap masyarakatnya. Apa yang dilakukan oleh masyarakat, dalam hal ini
berkaitan dengan demokrasi, adalah tiruan dari apa yang sudah dilakukan para
elit negara.
Dengan status sebagai negara demokrasi yang diakui dunia,
Indonesia harus serius membangun dan menguatkan demokrasi. Capaian yang sudah
ada, harus ditingkatkan dan dipertahankan. Sekarang lah momen di mana
perwujudan dan pendewasaan dalam demokrasi bisa dilakukan.
Bisakah kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar