Sabtu, 12 Juli 2014

Demokrasi Setapak di Thailand

Demokrasi Setapak di Thailand
Tri Indra Purnama

Demokrasi Thailand telah jatuh melalui kudeta yang dilakukan oleh kelompok militer. Supermasi sipil telah tercerabut dan militer membawa dirinya sebagai pihak yang mengontrol operasi negara. Dunia mengecam intervensi militer dalam politik dan kontrol militer atas sipil di Thailand.

Tepat pada 22 mei, militer Thailand berhasil merebut dan mengambil alih kekuasaan dari Perdana Menteri Yingluck Shinawarta. Dengan cepat, junta militer berhasil menguasai daerah Utara dan Timur Thailand, di mana daerah tersebut adalah basis loyalis Yingluck Shinawarta.

Pihak militer beralasan bahwa kondisi politik Thailand sudah sangat memprihatinkan. Instabilitas politik dan demonstrasi terjadi terus menerus. Mereka bermaksud menjadi pahlawan dengan merebut kekuasaan untuk mengembalikan situasi politik ke arah yang lebih baik.

Setelah pemerintahan berhasil dikuasai. Militer kemudian memberlakukan undang-undang darurat. Pelbagai hal yang berkaitan dengan pemerintahan, harus di bawah kontrol militer.

Jam malam pun diberlakukan. Militer menyerukan bahwa tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh setiap orang, termasuk wisatawan antara jam 10 malam hingga jam 5 pagi.

Junta militer Thailand membatasi aktivitas yang berhubungan dengan politk. Militer juga melakukan penangkapan kepada aktivis pro Yingluck Shinawarta dan para demonstran. Pembredelan media juga dilakukan, internet disensor dan membubarkan setiap perkumpulan yang dilakukan oleh masyarakat.

Peran Militer dalam Politik
Sejak berakhirnya pemerintahan Monarki pada 1932, militer memiliki peran yang cukup besar dalam politik. Militer tidak hanya mengurusi masalah pertahanan, tetapi juga dimensi keamanan nasional lain yakni stabilitas politik.

Melalui kontrol terhadap aparatur negara seperti aparat kepolisian dan pelayanan sipil, militer telah memiliki pengaruh besar dalam pembuatan kebijakan politik. Kursus perubahan politik belum bisa diambil alih oleh kelompok-kelompok sipil atau pun partai politik. Sistem partai jauh dari institusional.
Militer membawa perubahan bentuk negara dari monarki absolut menjadi konstitusional pada 1932. Kudeta 1947, junta militer memberikan kesempatan besar kepada kelompok pejabat militer baru yang tidak terlibat dalam politik. Mereka cenderung tradisionalis, kurang mendapatkan pendidikan barat dan kurang memiliki visi politik.

Militer berniat untuk mengumumkan sebuah konstitusi demokrasi, pemilihan lembaga perwakilan dan menjamin kebebasan politik. Sebuah pemerintahan sipil pun muncul dari sebuah pemberontakan pada 1973. Namun, pemerintahan itu tidak mampu mengatasi kekerasan politik dan cekcok internal pada diri partai-partai politik. Perampasan kekuasaan yang dilakukan militer pada 1976 mengakhiri sebuah pemerintahan sipil (Suchit Bunbongkarn, 2004: 49).

Militer pun terus memainkan perannya dalam politik hingga kini. Mereka menamakan dirinya sebagai pelindung negara. Lemahnya kekuatan sipil dan kuatnya pengaruh militer memaksa Thailand berada pada situasi yang tidak berkembang, dalam hal ini, demokrasi. Kudeta terus dilakukan, mendirikan sebuah pemerintahan sementara, menawarkan sebuah rancangan konstitusi, memberlakukan kebijakan yang sifatnya otoritarian, itu semua merupakan bagian dari pola peran militer dalam politik di Thailand. Sejarah mencatat, terdapat 15 upaya kudeta yang dilakukan militer.

Keberhasilan partai demokrat dalam memenangkan pemilu 1992 memberikan angin segar bagi perluasan demokrasi dan hubungan sipil-militer. Pemimpin militer mengumumkan untuk mendukung demokrasi, tak akan campur tangan dalam urusan-urusan politik, mendukung pemerintahan dan tetap berada di barak.
Janji militer untuk mendukung berjalannya demokrasi di Thailand sebatas ucapan. Kudeta yang dilakukan militer pada 2006 dan 2014 mengakhiri pemerintahan yang dipegang sipil dan memberikan ketegangan kembali hubungan sipil-militer di Thailand.

Rapuhnya Demokrasi
Lemahnya kepercayaan kepada demokrasi dari kelompok elit menjadikan demokrasi rapuh di Thailand. Penggulingan perdana menteri Yingluck Shinawarta oleh junta militer mengakhiri pemerintahan sipil. Lemahnya kinerja pemerintahan sipil, korupsi, kurang tegasnya penegakan hukum, huru hara, memaksa elit militer untuk mengambil sikap.

Upaya untuk mengkonsolidasikan demokrasi tak kunjung berhasil. Elit dan massa masih belum bisa bersikap dan bertindak dengan baik terhadap demokrasi. Belum menaruh legitimasi yang kuat dan menunjukan sikap yang besar terhadap proses demokratisasi.

Kuatnya pengaruh militer mendapatkan tantangan tersendiri bagi sipil untuk bisa membatasi ruang-ruang kesempatan bagi militer. Lemahnya kelompok sipil dalam mengkontrol junta militer Thailand, membawa kudeta acap kali terjadi. Konsolidasi demokrasi harus dilakukan dengan kewenagan penuh kepada sipil dan membatasi peran militer dalam politik.

Menurut Robert Dahl, salah satu kondisi yang ada dalam konsolidasi demokrasi adalah kontrol sipil atas militer. Apabila kekuatan militer tidak berada dalam pengawasan penuh pejabat-pejabat yang terpilih secara demokratis, maka lembaga-lembaga politik demokratis tidak mungkin berkembang dan bertahan lama. Aktor-aktor di dalam militer, harus tunduk terhadap pejabat-pejabat yang terpilih secara demokratis. Ketundukan tersebut harus melekat (Dahl: 2001,199).

Upaya untuk menguatkan otoritas sipil atas militer telah dilakukan. Tahun 1992 hingga 2006, peran militer dalam politik telah tereduksi. Peran militer yang sentral telah bergeser ke arah yang lebih tradisionalis, fokus pada isu-isu pertahanan dan keamanan. Periode tersebut pun dilalui tanpa adanya pemerintahan militer. Konstitusi 1997 secara jelas membatasi perwira-perwira aktif militer dalam menduduki posisi pemerintahan atau senat.

Namun, harapan konsolidasi demokrasi tidak diimbangi dengan sikap dan tindakan yang mencerminkan demokratis dari kelompok-kelompok sipil. Era Thaksin Shinawarta, pemerintahan Thailand melekat pada label otoriter. Dominasi yang kuat oleh Thaksin dalam setiap ruang bisnis dan politik di Thailand, krisis ekonomi, berdampak pada memudarnya legitimasi rakyat terhadap pemerintahan Thaksin. Lagi dan lagi, militer mengambil alih politik untuk mengurangi dampak krisis yang telah terjadi.

Hal serupa pun terjadi di tahun 2014 pada pemerintahan Yingluck Shinawarta. Korupsi, krisis ekonomi, konflik yang tak terselesaikan, melemahkan otoritas sipil atas militer. Panglima tertinggi militer, Jendral Prayuth Chan-Ocha menyatakan telah mengambil alih pemerintahan di tangan perdana menteri Yingluck Shinawarta.

Raja Bhumibol Adulyadej mendukung tindakan yang dilakukan junta militer. Mendapatkan dukungan, militer memanfaatkan kondisi tersebut untuk melakukan berbagai kebijakan yang bersifat militeristik. Undang-undang darurat pun diberlakukan. Militer pun mendirikan pemerintahan semenatra yang terdiri dari orang-orang militer. Junta militer juga memberlakukan jam malam, sensor ketat terhadap internet dan media, pembubaran demonstrasi secara paksa dan pelarangan kelompok-kelompok masyarakat.

Kudeta yang kerap kali terjadi di Thailand menandakan bahwa lemahnya kontrol sipil atas militer. Kurangnya pengawasan terhadap aparat militer mengakibatkan lembaga-lembaga demokratis sulit untuk bertahan lama. Di lain pihak, elit-elit sipil yang terpilih  tak bisa membawa pemerintahan dengan efektif, stabil dan bertanggung jawab.

Militer Thailand harus belajar terhadap pengalaman Indonesia.  Hasil dari reformasi 1998 mampu mengembalikan militer kembali ke barak dan mengurangi peran militer dalam politik dengan adanya penghapusan Dwifungsi ABRI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar