Maksud di Balik Kampanye Pelarangan Merokok
Tri Indra Purnama
Kampanye pelarangan nikotin yang dilakukan oleh World Healt Organization (WHO) dan juga beberapa perusahaan besar farmasi asing tidak terlepas dari tujuan lain di balik kegiatan kampanye tersebut. Itulah topik yang menjadi pembahasan dalam diskusi kelas yang telah dilakukan beberapa hari lalu. Bersama para komunitas KRETEK & koalisi cinta 100% Indonesia, kedai pemikiran dan juga media berdikarionline menjadikan pembahasan topik tersebut terasa baru bagi saya dan juga teman-teman sekelas.
Topik yang diangkat di atas adalah tidak lain berangkat dari sebuah buku yang berjudul “Nicotine War” yang ditulis oleh Wanda Hamilton. Di dalam buku itu tertulis bahwa, penulis meneliti serangkaian data atas adanya kegiatan lain di balik kampanye pelarangan nicotine di dalam rokok. Penulis mendapatkan suatu agenda lain di balik adanya ideologi dan kepentingan lain di balik kampanye pelarangan merokok. WHO dan beserta kemitraan perusahaan farmasinya menjadikan setiap para merokok untuk berhenti merokok dan digantikan dengan sebuah produk yang dihasilkan oleh perusahaan farmasi tersebut, yang terkenal dengan istilah “Nicotine Replacement Treatment” (NRT).
Produk tersebut adalah tidak lain dari sebuah obat sintetik yang di dalam produk tersebut juga terdapat zat-zat nicotine. Penulis mendapatkan asumsi baru bahwa para perokok berusaha diberhentikan untuk merokok akan tetapi dianjurkan mengkonsumsi produk NRT tersebut, seperti permen karet dan sebagai macamnya. Jadi, kesimpulan yang diangkat dalam buku itu adalah, WHO dan Perusahaan besar farmasi ingin menggantikan para konsumsi rokok menjadi mengkonsumsi sebuah produk yang dihasilkan mereka dengan juga terdapat unsur zat nicotine di dalamnya.
Ini menjadikan suatu masalah baru dengan nicotine yang terdapat di dalam obat sintetik lebih berbahaya ketimbang nicotine yang dihasilkan dari tembakau. Bagaimana tujuan itu dilakukan oleh para perusahaan farmasi memasukan produk mereka dan memasarkannya disetiap negara di dunia khususnya Indonesia dengan cara menggandeng organisasi internasional seperti WHO. Mereka masuk dengan memeberikan tawaran yang menggiurkan terhadap pemerintah di Indonesia. Alhasil, pemerintah kini telah banyak mnegeluarkan beberapa kebijakan publik berkaitan dengan pelarangan merokok. Seperti Peraturan Daerah dan Pereaturan Gubernur menjadikan implikasi yang besar terhadap para perokok. Misal seperti pelarangan merokok di dalam kampus ataupun di dalam tempat-tempat umum. Para perokok secara tidak langsung seperti seorang yang mengidap penyakit kusta dan terkesan harus dijauhi. Padahal nicotine yang di dalam obat sintetik tersebut lebih berbahaya ketimbang yang dihasilkan oleh rokok. Ini menjadikan para perokok merasa tidak adil dalam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.
Ada hal lain juga yang dapat merugikan beberapa pihak banyak, yaitu industri-industri rokok kecil. Mereka kehilangan tempat pasarnya apabila pasar yang tadinya dikuasai oleh mereka digantikan dengan pasar produk-produk yang dihasilkan oleh perusahaan farmasi yang dengan emblem-emblem dapat memberhentikan merokok akan tetapi dibalik itu, perokok menjadi kecanduan terhadap produk-produk yang dihasilkan mereka. Dari beberapa permasalahan di atas menjadi suatu penting bagi kita untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Kerugian yang amat besar akan kita alami apabila hal tersebut masih terus berlangsung. Itu lebih berbahaya ketimbang kita harus merokok. Bukan berarti dalam pembahasan diskusi tersebut berusaha untuk membudidayakan orang-orang untuk merokok, akan tetapi untuk menyelamatkan bangsa Indonesia ini dari cengkraman neolib yang implikasinya sangat besar terhadap kesehjateraan di Indonesia. Dan dengan ini kita lebih baik untuk bersikap tegas untuk menyatakan bahwa kita tidak lagi memilih untuk bercinta terhadap neolib.