PENDAHULUAN
Sekiranya tepat jika zaman di mana kelahiran Sayyid Qutbh adalah sebuah zaman kediktatoran dari pemimpin Mesir saat itu, yakni Gamal Abdul Nasser. Nasser mencoba melebarkan pengaruhnya di wilayah timur tengah dengan Nasserisme nya yang mengambil nilai-nilai arabisme pada inti pengaruhnya dan membawa Mesir menjadi Negara yang otoriter. Dengan kondisi yang cukup kompleks, dimana Mesir pun turut terlibat dalam peperangan besar melawan Israel, Mesir mengalami suatu masa yang buruk, dengan semakin miskin dan melambungnya harga pokok pada saat itu.
Atas dasar itulah banyak kalangan yang mengkritik tentang pemerintahan di Mesir pada saat itu, salah satunya organisasi ikhwanul muslimin dengan pemimpinnya Hasan Al-bana yang mencoba membawa mesir dalam nilai-nilai islam. Dan selalu memilih untuk bertindak eksternal di pemerintahan. Sayyid qutbh pun mengkritik tentang pembawaan mesir yang pada saat itu telah cenderung ke Barat daripada memakai islam sebagai ideology Negara. Qutbh mengkritik habis-habisan tentang pemerintahan di bawah Nasser yang pada akhirnya membawa Qutbh pada suatu eksekusi gantung terhadapnya.
Menarik sekiranya bagaimana sosok intelektual ini mengkaji tentang pemikiran politiknya yang terinspirasi oleh pergerakan islamisme pada zamannya. Kekecewaan atas nilai-nilai serba barat yang diadopsi para orang islam pada saat itu, walaupun ia sendiri sebelumnya adalah seorang yang liberal atas karya-karya sastranya yang kemudian ia sesali. Penulis akan mencoba membahas bagaimana pemikiran sang intelektual ini secara komperensif, dimulai bagaimana pembawaan islam terhadap pemeluknya hingga pada pemikiran politiknya yang sangat dipengaruhi oleh Al-maududi, seorang intelektual asal Pakistan.
BIOGRAFI
Nama aslinya adalah Sayyid Qutubh, lahir pada 9 Oktober 1906. Sayyid Qutb mendapat pendidikan pertama di rumah dari orang tua yang kuat beragama. Qutbh dibesarkan di suatu desa di mesir yang bernama Musha, terletak di utara dari provinsi Asyut. Latar belakang ayahnya adalah seorang pemilik tanah ang sekaligus pemilik kebun keluarganya. Usia 6 tahun, Qutb diantar ke sekolah rendah di kampungnya, Assiyut. Dan pada usia 7 tahun ia mulai menghafal Al-Qur’an. Dalam tiga tahun berikutnya, ia telah menghafal seluruh Al-Qur`an.[1] Di kairo, ia sekolah antara tahun 1929 sampai 1933, di sekolah ini ia mendapatkan pendidikan bebasnya pada gaya Inggris, yang pada kemudian mempengaruhi minat beliau dalam menulis tentang sastra inggris. ia seorang penulis sastra yang produktif, banyak karyanya yang terkenal seperti Ashwak (duri), namun pada akhirnya, ia sadar dan memilih untuk menjadi seorang yang islamis dan menyesal atas segala sikapnya dalam penulisan sastra tersebut. Pada tahun 1939, ia mendapatkan jabatannya sebagai penulis di Departemen Pendidikan di Mesir.
Awal dekade 1940-an, satu era baru telah mulai terjadi dalam kehidupan Sayyid Qutb, sebagai masa pencerahan kesadarannya terhadap Islam. Dalam karya tulisnya, ia mulai menulis beberapa seri “At-Taswir Fanni Fil Qur’an” pada tahun 1939. Tulisan ini mengupas indahnya seni yang terdapat di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Pada tahun 1945 ia menulis sebuah kitab bertajuk “Masyahidul Qiamah Fil Qur’an” yang isinya menggambarkan peristiwa hari kiamat dalam Al-Qur`an. Dan pada tahun 1948, Sayyid Qutb menghasilkan sebuah buku berjudul “Al-Adalah Al-Ijtima’iyyah Fil Islam” atau Keadilan Sosial dalam Islam. Fase terakhir perjalanan Sayyid Qutb berawal pada tahun 1951, saat ia mulai bergabung dengan Jama’ah Al-Ikhwan Al-Muslimun, sampai tahun wafatnya di tiang gantungan tahun 1966. Baginya, rentang masa itu sangat penting dan karenanya ia pernah mengatakan bahw tahun 1951 adalah tahun kelahirannya. Sayyid Qutb bergabung bersama Al-Ikhwan Al-Muslmun, dua tahun selah wafatnya Imam Hassan al-Banna yang merupakan pendiri Al-Ikhwan, pada tahun 1949. Beberapa karya Sayyid Qutb selanjutnya adalah: Haaza ad Din, Al-Musta qbal li hadza ad diin, khashaish tashawwur al-Islami, ma’alim fi thariq, dan tafsir fii zilali al-Qur`an. Pesan utama yang ditekankan Qutb di dalam tulisan-tulisannya adalah konsep al-Tauhid dari sudut al-Uluhiyyah. [4]
Pada 13 Januari 1954, Revolusi Mesir melarang Al-Ikhwan Al-Muslimun dan para pimpinannya ditangkap karena dituduh sedang kudeta. Sayyid Qutb dihukum penjara lima belas tahun dengan kerja berat. Pada tahun 1964, Sayyid Qutb telah dibebaskan atas permintaan pribadi Abdul Salam Arif, Presiden Iraq. Tapi Pemerintahan Revolusi Mesir belum menerima pembebasan tersebut. Setelah Presiden Abdul Salam Arif meninggal dalam satu musibah pesawat udara, Qutb ditangkap lagi pada tahun berikutnya. Alasannya adalah karena Qutb dituduh kembali merancang kudeta.Sayyid Qutb ditahan bersama seluruh anggota keluarganya. Sebelum hukuman gantung dilaksanakan, Presiden Naser menghantar utusan menemui Sayyid Qutb. Melalui utusan itu Presiden Naser meminta agar Sayyid Qutb menulis pernyataan meminta ampun agar ia dibebaskan. Tapi Sayyid Qutb dengan tegas menjawab; “Telunjuk yang bersyahadah setiap kali dalam shalat menegaskan bahwa Tiada Ilah yang disembah dengan sesungguhnya melainkan Allah dan Muhamad adalah Rasulullah, dan aku takkan menulis satu perkataan yang hina. Jika aku dipenjara karena kebenaran aku ridha. Jika aku dipenjara secara batil, aku tidak akan menuntut rahmat daripada kebatilan”. [5]Ia pun di esekusi kematiannya pada Pagi hari Senin, 29 Agustus 1966, digantung bersama-sama sahabat seperjuangannya, Muhamad Yusuf Hawwash dan Abdul Fatah Ismail.
PEMIKIRAN POLITIK SAYYID QUTUBH
KEADILAN SOSIAL DALAM ISLAM
Islam adalah agama kesatuan antara ibadah dan muamalah, antara akidah dan perbuatan, material dan spiritual, nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai moral, dunia dan akhirat, bumi dan langit. Dari kesatuan besar ini muncullah ketentuan dan ketetapannya, arah dan batas-batasnya, pandangan-pandangannya dalam politik dan pengaturan harta kekayaan, pembagian harta rampasan dan utang-piutang, dan dalam hak dan kewajiban. Dalam prinsip raksasa inilah terkandung seluruh bagian-bagian dan rinci-rinciannya.[6]
Dari kesatuan absolute yang seimbang dan simetris, dan kerjasama universal antara individu dan masyarakat, islam melaksanakan terwujudnya keadilan sosial dengan tetap memelihara unsur-unsur dasar dalam fitrah manusia, tapi tidak pula menutup mata terhadap kemampuan yang dimiliki setiap orang. Menyediakan ruang gerak yang cukup bagi kehidupan dan nilai-nilai ekonomi yang merata dalam semua segi yang menunjang kehidupan menurut pandangan islam,merupakan cara yang paling ampuh untuk mewujudkan keseimbangan dan keadilan sosial, serta mewujudkan keadilan dalam setiap segi kemanusiaan dan menghilangkan adanya citra interpretasi yang sempit dalam masalah keadilan seperti yang ada dalam komunisme. Keadilan dalam komunisme adalah persamaan imbalan atanpa ada perbedaan sedikitpun dalam segi-segi ekonomis, sekalipun ia harus berbenturan dengan kemampuan kerja yang dimiliki individu. Sedangkan dalam islam, keadilan adalah persamaan kemanusiaan yang memperhatikan pula keadilan dalam semua nilai yang mencakup segi-segi ekonomi yang luas. Dalam pengertian yang lebih dalam berarti pemberian kesempatan sepenuhnya kepada individu, lalu membiarkan mereka melakukan pekerjaan dan memperoleh imbalan dalam batas-batas yang tidak bertentangan dengan tujuan hidup yang mulia.[7]
Karena nilai-nilai itu menurut pandangan islam banyak macamnya, maka keadilannya secara keseluruhan mudah dilaksanankan. Oleh sebab itu, islam memaksakan untuk melakuakn peraturan persamaan ekonomi dalam arti yang sempit, yang bertentangan dengan fitrah dan betabrakan dengan watak imbalan yang berbeda: mengabaikan kemampuan yang tinggi dan menyamakannya dengan kemampuan yang lemah yang dimiliki oleh individu; melarang kepemilikan harta untuk memanfaatkan miliknya bagi kepentingan diri dan ummat; menentukan berbagai larangan bagi masyarakat dan menutup kemungkinan setiap orang memperoleh imbalan yang berbeda dalam hasil kerjanyanya.[8]
ASAS-ASAS KEADILAN DALAM ISLAM
Kebebasan Jiwa
Islam benar-benar memulai denga melakukan pembebasan jiwa dari segala bentuk peribadatan dan ketundukan kepada apapun selain Allah. Selain Allah, tidak seorang pun yang memiliki kekuasaan; tidak ada yang menghidupkan dan mematikan seseorang kecuali Allah; tidak ada yang memiliki daya untuk memberikan manfaat atau mudharat selain Allah; tidak ada selain Dia yang member rezki baik dari langit maupunbumi kepada seseorang , dan tidak ada seorang perantarapun yang menghubungkan seorang hamba dengan Tuhannya. Hanya Allah lah yang mampu melakukan semunaya itu dan selain Dia hanyalah hamba-hambaNya belaka. “Katakanlah: Dialah Allah Yang Maha Esa. Allah adalah tempat bergatung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakan, dan tidak ada seorangpun yang setara denganNya”(QS, 112: 1-4).[9]
Apabila jiwa telah terbebas dari bentuk peribadahan dan pengkultusan kepada seseorang diantara hamba-hamba Allah, dan merasa sepenuhnya berada dalam hubungan dengan Allah, maka ia tidak akan terpengaruh oleh perasaan takut dalam mengahadapi kehidupan. Takut tidak mendapat rezki, dan takut tidak memperoleh tempat tinggal yang layak. Semua perasaan ini adalah perasaan buruk, yang dengan sendirinya akan menutupi perasaan seseorang, menyeretnya untuk menerima kehinaan, dan sebagian besar akan melenyapkan harga diri dan hak-haknya. Akan tetapi islam, karena kekuatan dalam mendorong terwujudnya kehormatan dan keluhuran martabat manusia, serta tujuannya mengkokohkan kebesaran jiwa dalam membela kebenaran dalam diri mereka, dan dengan semuanya itu ia memberi jaminan terwujudnya keadilan sosial yang mutlak, lebih dari sekedar pelaksanaan syariat belaka, maka iat sama sekali tidak mengabaikan manusa.[10]
Agama adalah suatu pernyataan universal tentang pembebasan manusia di bumi dari perhambaan pada orang-orang lain, atau pada keinginn-keinginan manusia… Menyatakan kedaulatan Tuhan, berarti revolusi yang melliputi banyak hal terdapat pemerintah manusia dalam semu persepsinya, bentuk-bentuknya, system-sistemnya dan kondisi-kondisinya. Dan pelanggaran mutlak terhadap setiap kondisi di bumi yang didalamnya manusia telah berdaulat, atau menyatakan dengan kata-kata lain yang lain yang didalamnya keilahian dianggap sebagai bagian manusia… yang didalmnya sumber kekuasaan adalah manusia… menjadi sementara orang sebagai majikan orang-orang lain dengan mengesampingkan Tuhan serta Penjaganya.[11]
Persamaan Kemanusiaan
Apabila hati sudah merasakan semua kebebasan jiwa, maka ia akan terbebas dari segala bentuk bayangan perbudakan, dan percaya sepenuhnya bahwa mati, penderitaan, kemiskinan,dan kehinaan, semuanya berada di tangan Allah. Terbebas dari tekanan nilai-nilai yang ada di masyarakat dan nilai ateri, aman dari kerendahan libatan kebutuhan dan persoalan hidup, dapat menundukan hawa nafsu dan ketamakannya, dan dapat menghadapkan diri kepada Sang Maha Pencipta Yang Maha Esa, yang kepadaNya pula seluruh alam semesta ini menghadapkan dirinya tanpa membangkang, lalu sesudah itu ia akan dapat memperoleh seluruh kebutuhan hidupnua melalu jaminan yang diatur oleh system dan pelaksanaan syara.[12]
Kala semua itu sudah terwujud, maka bukan lagi kaum fakir dan miskin saja yang akan memelihara dan mempertahankan prinsip-prinsip persamaan yang bersumber dari hati nurani, tetapi golongan hartawan dan orang-orang yang mampupun akan terjun bersama-sama dalam melaksanakan hukum dalam bidang ini. Persamaan derajat ini ditegakkan atas teori kemanusiaan yang sempurna dan bersih, sampai-sampai dari fanatisme keagamaan sekalipun. Islam memberikan perlindungan kepada kaum musyirikin sama halnya dengan perlindungan jiwa kepada kaum mukminin. Islam memerangi segala bentuk perbedaan diskriminasi beserta sebab musababnya, agar semuanya dapat dimusnahkan.[13]
Dalam hal perbedaan kelamin, maka islam telah memeberikan jaminan yang sama dan sempurna kepada kaum wanita sejajar dengan kaum pria, kecuali dalam beberapa segi yang berkaitan dengan karakteristik bioligis dan tabiat masing-masing jenis kelamin. Adapaun dalam segi keagamaan, kedua jenis makhluk ini sama derajat. “Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik ia laki-laki maupun wanita, sedang ia seorang yang beriman, maka mereka itu akan masuk surge dan tidak dianiaya sedikitpun” (QS,4: 124). Dalam segi kepemilikan harta dan penggunaannya dalam bidang ekonomi, mereka sama. “Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibi bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak gabiannya pula…”(QS,4;7). Sedangkan dalam segi kepemimpinan, kaum pria dan wanita seperti yang tertera dalam al-quran “kamu laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita,oleh karena Allah melebihkan sebagian mereka (pria) telah menafkahkan hartanya…”(QS,4:34). Maka letak kelebihannya adalah pada kemampuan, keterampilan, kesesuaian dan keistimewaan kaum pria dalam melakasanakan kepemimpinan itu.[14]
Jaminan Sosial
Islam menetapkan prinsip baik buruk yang ada pada individu dalam menerima kebebasannya; dan disamping itu menetapkan pula kaidah-kaidah semacam itu bagi masyarakat yang mencakup tanggung jawab individu dan masyarakat. Inilah yang dimaksudkan sebagai jaminan sosial. Islam menetapkan prinsip-prinsip jaminan dalam semua gambaran dan bentuknya. Ada jaminan antara individu dengan dirinya sendiri, antara individu dengan keluarga dekatnya, antara individu dengan masyarakat, ummat dengan ummat lainnya, dan antara satu lapisan masyarakat dengan lapisan lainnya secara timbal balik.[15]:
- Jaminan Antara Individu Dengan Dirinya Sendiri
Jaminan antara individu dengan dirinya sendiri adalah suatu jaminan untuk tidak membiarkan dirinya memperturutkan hawa nafsunya, mensucibersihkannya, menempuh jalan yang baik dan selamat, serta tidak menjerumuskan diri dalam kehancuran. Prinsip baik buruk dalam islam telah dikemukakan secara legkap; mencakup setiap orang dengan amalnya, setiap orang dengan apa yang dikerjakannya bagi dirinya baik itu perbuatan baik ataupun buruk, terpuji dan tercela.
- Jaminan Antara Individu Dengan Kerabatnya
Nilai-nilai jaminan yang ada di sekitar ini terletak di tangan orang-orang yang memilikinya. Keluarga adalah batu pertama bagi tegaknya bangunan masyarakat, dan tidak ada tempat sedikitpun untuk memungkiri kenyataan ini. Ia ditegakkan diatas kecenderungan yang kuat dalam fitrah kemanusiaan, kasih saying dan santun menyantuni, dan memenuhi semua kebutuhan dan kepentingannya, seakan-akan ia merupakan satu sarang yang darinya muncul berbagai kumpulan norma,etika dan tingkah laku tertentu yang sejenis, dan pada intinya ia merupakan moral masyarakat yang melenyapkan sifat-sifat kekacauan dan ketidakaturan.
- Jaminan Antara Individu Dengan Masyarakat dan Antara Masyarakat dengan anggotanya yang harus berjalan timbale balik
Setiap individu, pertama-tama menjadi pihak yang member jaminan untuk melakukan pekerjaannya masing-masing dengan sebaik-baiknya. Setiap individu juga merupakan orang yang menjamin kepentingan masyarakat seakan-akan mereka inilah para penjaga yang diberi kekuasaan untuk memeliharanya. Kehidupan adalah bagaikan sebuah kapal di tengah lautan, dan setiap penumpang bertanggung jawab terhadap keselamatannya, dan tidak ada hak bagi seorang pun untuk menenggelamkan kapal tersebut dengan mengatasnamakan kebebasan individu. Dalam hubungan ini, tidak seorang anggota masyarakat pun yang terlepas dari kepentingan umum, sehingga setiap orang adalah pemelihara dan dipelihara dalam masyarakat. “setiap kamu adalah pemimpin dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Kerjasama antara masyarakat merupakan suatu kewajiban untuk memelihara kepentingan bersama dalam batas-batas yang termasuk dalam perbuatan baik dan Ma’ruf.
Setiap orang dengan sendirinya, dituntut untuk melakukan mara maruf, dan kalau ia tidak mau melakukan itu, ia berdosa dan dikenakan sangis atas dosanya itu. Setiap orang dituntut untuk melenyapkan segala bentuk kemungkaran di amnapun ia melihatnya. Maka, setiap orang bertanggungjawab terhadap segala bentuk kemungkaran yang ada di dalam masyarakat, sekalipun ia sendirian dan tidak ada seorang kawanpun. Dalam masyarakat yang merupakan satu kesatuan, apabila kemungkaran merajalela, maka wajib bagi setiap orang untuk melindungi masyarakat ini. Masyarakat memikul tanggung jawab untuk melindungi anggota-anggotanya yang lemah dan memelihara kepentingan mereka. Ia harus melakukan perang terhadap pihak-pihak yang menggangu kaum lemah. “mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang yang lemah baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak (QS, $:75). Masyarakat juga bertanggung jawab dalam memelihara kekayaan orang lemah ini, sampai saatnya ia bisa berdiri sendiri. Masyarakat bertanggung jawab pula terhadap kaum kafir yang ada di tengah-tengah dirinya dan wajib member nafkah menurut kemampuannya. Ia boleh mengambil harta zakat dan menafkahkan untuk kebutuhan mereka ini, dan bila ini tidak mencukupi, maka ia wajib untuk menyuruh orang-orang yang mampu untuk membantu orang-orang yang membutuhkan itu tanpa adanay ikatan dan syarat tertentu kecuali kewajiban itu saja.
Pemahaman mengenai pembebasan yang dijelaskan oleh Qutb ini menggambarkan suatu keharusan membebaskan manusia untuk menegakkan kerajaan Tuhan di Bumi. Jihad sebagai alat untuk menegakkan masyarakat yang adil dan mencapai kebebasan bukan penindasan. Islam sebagai kekuatan pembebasan memiliki sifat yang universal , tidak memiliki batasan secara kebangsan, batas wilayah atau geografis. Apabila terdapt penindasan terhadap orang muslim ataupun non muslim, Islam memiliki tanggung jawab untuk menghilangkan segala bentuk penindasan tersebut demi mencapai keadilan manusia.[16]
POLITIK PEMERINTAHAN DALAM ISLAM
Beberapa pengarang dari kalangan islam yang membicarakan system islam, ada yang berusaha menghubungkannya dengan system-sistem lain yang dikenal dalam sejarah manusia. Mereka yakin di saat mereka membuat hubungan itu, bahwa islam mempunyai kaitan kuat dengan system universal lain. Upaya itu tidak lain hanya sebatas pengakuan rendah diri terhadap system barat. Islam mengemukakan kepada manusia suatu system yang saling melengkapi yang tidak dimiliki oleh system manapun yang pernah dikenal manusia. Islam tidak merupakan pengikut system manapun, islam tidak memiliki kaitan maupun kemiripan dengannya. Tetapi islam telah memilih jalan sendiri, dan mengedepankan konsepsi yang sempurna dalam mengatasi kemelut yang dihadapi oleh kemanusiaan. Islam tidak bercorak Imperium seperti apayang dikatakan Dr. Haekal. Islam sangat jauh berbeda dengan system imperium, memang sentralisasi merupakan ciri dari imperium. Islam menyeramatakan semua ummat islam yang terdapat di seluruh penjuru dunia islam, dan menolak adanya fanatisme ras dan kedaerahan, dan bahkan islam tidak menjadikan wilayahnya yang terdapat dimana-mana itu sebagai daerah jajahan atau negri yang ditaklukan, dan tidak pula dieksploitasi demi kepentingan pusat tersendiri. Setiap wilayah islam merupakan bagian dari keseluruhan dunia islam dan semua warganya memiliki hak-hak yang sama terhadapa warga Negara yang berada di pusat pemerintahan islam dan bila sebagian wilayah-wilayah itu ada yang diperintah oleh seorang gubernur (wali) yang diangkat oleh pusat, maka posisinya sebagai gubernur itu semata-mata hanyalah sebagai seorang muslimyang memang pantas menduduku jabatan itu, dan bukan sebagai seorang penjajah yang berkuasa, selain itu wilayah-wilayah itu selalu terbuka untuk diperintah oleh putra-putra deaerahnya masing-masing. Itu bukan semata-mata karena ia putra daerah, melainkan ia memang merupakan seorang muslim yang pantas dan sesuain untuk jabatan itu. Demikian dalam masalah pendapatan yang diperoleh daerah tersebut, untuk digunakan kepentingan daerah itu sendiri dan baru kalau ada kelebihannya, disetorkan ke Baitul Malmilik bersama kaum muslimin yang akan dimanfaatkan bagi kepentingan umat muslim.[17]
Islam harus menguasai pemerintahan guna menjami pembagian kekayaan secara merata, maupun memberikan bimbingan dalam hal-hal kebijakan umum, serta berusaha melaksanakan pandangan-pandangan dan nilainya. Islam menyadari bahwa suatu Ideologi tidak dapat dilaksanakan dalam kehidupan kecuali apabila ia diwujudkan dalam suatu system sosial Khusus, dan ditransformasikan menjadi undang-undang yang menguasai kehidupan, dan mengatur hubungan yang berubah. Bagi Qutb, keberatan barat terhadap pembentukan pemerintahan Islam di Dunia Arab tidaklah didasarkan atas keberatan terhadap suatu Negara yang berdasarkam Agama. Tetapi sebaliknya, sumbernya ialah tidak memadainya agama Kristen untuk peranan demikian dan kekhawatiran akan keberhasilan Islam. Dengan cara lain, Islam menjaga harga diri individu dengan menyatakan bahwa pemerintahan berasal dari Tuhan. Hanya Dialah yang membuat hukum. Demikian adalah Negara yang berdasarkan hukum Agama menjamin kemerdekaan sepenuhnya dari semua perhambaan bumi.[18]
Mengenai mereka yang semangatnya dijajah Eropa dan Amerika dan yang menyatakan bahwa adalah reaksioner dan kolot untuk membentuk Negara berdasarkan agama. Qutubh mencontohkan Israel sebagai Negara atas agama dan semata-mata atas semangat yudaisme. Jadi atas dasar ini, Qutubh mencoba menjadikan Israel sebagai contoh suatu Negara atas agama. Ia mencoba melawa anggapan dari para pemikir barat yang menilai tidaklah mungkin untuk membentuk suatu Negara dengan berlandaskan agama. Dengan alasan bahwa, islam memiliki segala aspek dan memenuhi tentang nilai-nilai adanya perihal dalam agama, berbeda dengan agama Kristen yang tidak memenuhi perintaha mengenai suatu Negara dan agama.
System politik islam dibangun atas dua konsep dasar yang merupakan perpanjangan konsepsinya yang menyeluruh tentang alam, kehidupan dan manusia: pemikiran integral tentang jenis manusia, watak dan pertumbuhannya. Juga konsep bahwa islam itu merupakan satu system universal yang abadi bagi masa depan kemanusiaan. Konsep tentang kesatuan manusia dalam jenis, watak dan pertumbuhannya telah dibahas diatas dalam Asas-Asas Keadilam Dalam Islam. Yang mengisyratkan tentang hak-hak bagi orang dzimmi dan kaum musyrikin yang terikat perjanjian damai dengan kaum muslimin, betul-betul ditegakkan dalam asas-asas kemanusiaan tanpa perbedaan antara pemeluk agama yang satu dengan yang lain. Kalaulah islam memerintahkan untuk memerangi kaum musyrikin, maka hal itu merupakan upaya membela diri dari serbuan pihak lain di samping membela dakwah dan iman. “ Dan perngilah di jalan Allah orang-orang yang telah memerangi kamu, tetapi janganlah kamu melampau batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas”(QS, 2:190).
Sedangkan tentang konsep bahwa islam itu adalah system universal yang abadi bagi masa depan kemanusiaan, maka ia muncul dari ketentuan bahwasanya Muhammad saw adalah utusan bagi seluruh ummat manusia, bahwasanya ia adalah nabi penutup dan agamanya adalah agama yang paling sempurna. “dan kami tidak mengutus engkau, melainkan untuk menjadi rahmat bagi alam semesta”(QS, 21:107). “Rasullah dan penutup para nabi…”(QS, 33:40). “…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat Ku, serta telah Ku ridhai islam itu menjadi agama bagimu…”(QS, 5:3). Akan tetapi sejalan dengan itu, islam tidak memaksa siapapun untuk menjadi pemeluknya.”Tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam. Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar lagi jalan yang salah..”(QS, 2:256).
System islam yang dibangun atas dua dasar konsep ini dijadikan titik perhatian dalam pelaksanaan syariat dan arah yang ditempuhnya dalam politik pemerintahan, politik kepemilikan dan seluruh system yang mencangkup di dalamnya. Islam tidak merakan syariat bersdasarkan rasa tau kasta, melainkan untuk seluruhnya. Tidak membedakan kaya dan miskin. Dan penerapan syariat ini ditujukan untuk membangun suatu keadilan sosial dalam islam dengan kaidah-kaidah yang sesuai dengan ajaran Islam.[19] Dengan jelas Qutb menyatakan bahwa Islam adalah system sosial selengkapnya alat mencari nafkah penghidupan bagi semua orang. Selanjutnya, ditekankan bahwa Islam menyetujui milik pribadi tetapi ditetapkannya batas-batas pada cara memperoleh kekayaan
Politik pemerintahan dalam islam dibangu atas asas: Keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat[20].:
1. Keadilan Penguasa: “Sesungguhnya Allah memerintah kamu untuk berlaku adli…”(QS, 16:90). ”…Dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia, supaya kamu menetapkan nya dengan adil…”(QS, 4:58). “….Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabatmu sendiri..” (QS, 6:152). “…Dan hendaklah jangan sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena hal itu lebih dekat kepada takwa..”(QS, 5:8).[21]
Ia merupakan keadilan yang mutlak yang tidak akan miring keputusannya karean terpengaruh oleh perasaan cinta maupun benci, yang tidak dapat berubah kaidahnya karena adanya suka dan tidak suka. Disini setiap individu menikmati keadilan yang sama, tidak ada diskriminasi antara mereka yang muncul karena nasaab dan kekayaan, karena uang dan pangkat sebagaimana yang ada pada ummat di luar islam.
Bagaimanapun seorang imam harus muncul untuk menjaga tatanan social dan membantu mengimplementasikan kehendak tuhan di bumi. Ia harus menerapkan kekuasaan tanpa melanggar kedaulatan tuhan yang berarti melakukan kekerasan terhadap hak manusia untuk terbebas dari dominansi manusia lain. Ia harus mendirikan lembaga dan hokum yang merefleksikan undang-undang abadi dan kebutuhan tempat dan waktu secara khusus dengan kesadaran bahwa usaha tersebut tak akan berlangsung selamanya. Qutubh mensketsakan bentuk masyarakat islam yang ideal, yang berlawanan dengan kondisi yang telah ada, dan menyerukan revolusi atas nama visi tersebut. Bagaimana visi itu bias tercapai, ia mengusulkan suatu perjalanan yang kabur dimana Al-quran hanya menunjukan perjalanan, tetapi tidak menunjukan tempat istirahat atau pun tujuan akhir. Perjalanan ini membutuhkan kepemimpinan yang kuat, seorang despot yang tercerahkan, seorang imam yang memerintah mutlak, dan bahkan membutuhkan kepatuhan fanantik. Islam menyelamatkan manusia dari ketidakadilan , mengangkatnya dari perbudakan pada hokum buatan manusia, menjamin “semua hak social, kehormatan, dan kesehjateraanNya, meyakinkan pada kesucian rumah dan menjamin pemeliharaan. Warga Negara memiliki hak untuk mengharapkan keadilan social dari pemerintahannya, dan premis-premis keadilan sosialnya adalah “kebebasan absolute akan kesadaran, persamaan umat manusia seutuhnya, dan tanggung jawab yang saling menguntungkan dalam masyarakat. Saling tanggung jawab akan tampak merujuk kepada tugas warga Negara untuk mematuhi penguasa mereka, yang otoritasnya diturunkan dari kesesuaian tindakannya dengan hokum tuhan. Seorang penguasa, katanya tak memiliki hak istimewa. Jika ia men junjung tinggi hokum dan melihat bahwa tugas keagamaan tertunaikan, maka ia telah mencapai batas kekuasaannya.[22]
2. Ketaatan Rakyat: “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasulnya, dan orang-orang yang memegang kekuaasaan diantara kamu..”(QS, 4:59). Penggabungan ketaatan kepada Allah, Rasulnya, dan orang-orang yang memegang kekuasaan dalam ayat ini mengandung arti penjelasan bagi watak dan batas-batas ketaatan itu. Ketaatan pada pemegang kekuasaan merupakan perpanjangan tangan dari ketaatan kepada Allah dan Rasulnya, sebab mentaati Waliul Amri dalam islam bukanlah karena jabatan mereka, tetapi karena pelaksanaan syariat Allah dan Rasulnya yang mereka tegakan, dan pelaksanaan syariat Allah dan Rasulnya yang bersumber dari Allah dan Rasulnya ini berhak untuk ditaati. Jadi bila ia menyimpang dari garis-garis yang ditetapkan Allah dan Rasulnya, maka gugurlah kewajiban taat itu, dan segala perintahnya tidak wajib dilaksanakan. Rasullah berkata: “setiap individu muslim suka atau tidak suka, wajib patuh dan taat terhadap ketentuan yang telah ditetapkan, kecuali bila ia diperintah untuk melaksanakan kemaksiatan. Amka bila ia diperintah untuk melaksanakan kemaksiatan, tidak ada ketaatan dan kepatuhan baginya\” (HR: Bukhari-Muslim).
Disini kita harus terlebih dulu membedakan antara posisi penguasa sebagai pelaksana syariat Allah dengan perpanjangan kekuasaan keagamaan. Seorang penguasa islam sama sekali tidak memiliki kekuasaan keagamaan yang diteriimanya dari langit sebagaimana yang pernah dimiliki oleh penguasa tempo dulu. Ia menjadi penguasa semata-mata karena dipilih oleh kaum muslimin berdasar kebebasan hak mereka yang mutlak sempurna, tanpa adanya ikatan perjanjian dengan penguasa sebelumnya ataupun sebagai warisan dari keluarganya. Selanjutnya ia harus meneruskan kekuasaan yang diperolehnya melalui cara itu dengan melaksanakan syariat Allah. Prinsip yang fundamental adalah adanya sebuah perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah, sebuah bay’ah, yang mirip dengan perjanjian antara manusia dengan tuhan. Dengan pasrah kepada tuhan, manusia membebaskan diri dari dominasi manusia lain, tetapi karena tidak semua orang bisa diharapkan pasrah, tatanan social membutuhkan kepatuhan muslim kepada wakil tuhan, entah dia itu nabi, khalifah, atau imam yang memimpin berdasarkan kitab, prinsip-prinsip abadi yang diletakan tuhan. Maka perjanjian antara pemerintah dan yang diperintah bersifat kondisional terhadap kebiasaan tingkah laku. [23]Jadi, apabila kaum muslimin tidak rela diperintah olehnya, maka kekuasaan itupun tidak lagi berada ditangannya dan begitu pula bila seandainya ia menyimpang dari Syariat Allah, sekalipun kaum muslimin rela menerimanya sebagai penguasa.
Semua bentuk pemerintahan yang melaksanakan syariat islam dapat disebut sebagai pemerintahan islam, apapun juga bentuk dan gambaran pemerintahan itu. Sebaliknya, semua bentuk pemerintahan yang tidak seperti itu, yang tidak mengakui islam, sekalipun dilaksanakan oleh suatu organisasi yang menamakan dirinya islam atau mempergunakan label islam, bukan pemerintahan islam.[24]
3. Musyawarah Antara Penguasa dan Rakyat: “..dan bermusyawaralah dengan mereka dalam urusan ini..”(QS, 3:159). “… dan urusan mereka diputuskan dengan jalan musywarah antara mereka…” (QS, 42:38). Permusyawaratan merupakan salah astu prinsip diantara prinsip-prinsip pemerintahan islam, sedangkan teknisnya, secara khusus tidak ditetapkan. Dulu Rasullah pernah mengajak bermusyawarah kaum muslimin mengenai persoalan-persoalan yang tidak diberikan jalan keluarnya oleh wahyu, dan mengambil pendapat mereka yang lebih tahu tentang urusan duniawi mereka. Misalnya, tentang taktik dan strategi perang. [25]
Walaupun terinspirasi oleh cara-cara Muhammad, akan mengambil bentuk yang tanpa preseden sama sekali dan dalam cara yang tak tertentu akan memilih imam di antara orang-orang soleh. Hanya masyarakat islam baru tersebut yang dapa menentukan bentuk pasti dari permusyawaratan itu. Akan tetapi, dalam pandangan beliau, hal itu tidak akan mengambl bentuk demokrasi parlementer Eropa, yang lahir dari keadaan social yang berbeda, dibangun di atas individualism dan dirancang untuk melindungi kepentingan individu, bukannya kesehjateraan umum.[26]
Qutubh menghindari kebanyakan pertayaan mengenai lembaga denga menyatakan bahwa ia harus timbul dari masyarakat islam yang telah terkonstitusikan. Ia menjadikan nilai-nilai dalam Al-quran sebagai informasi dalam masyarakat dan lembaga-lembaga. Kebutuhan semua tatanan social dan kebutuhan akan aturan hokum harus dilaksanakan dengan sumber syariat yang harus dipatuhi. Dan juga tentang kepemimpian dan apa yang dipimpin, tidak terlepas dan harus dilaksanakan sesuai dengan penerapan syariat. ia menyayangkan dengan umat muslim yang lebih cenderung mengadopsi pemikiran pemikiran barat ketimbang mengadopsi doktrin-doktrin dalam Islam.[27]
By: T. Indra Purnama
By: T. Indra Purnama
[1] BlogSaep, “Biografi Sayyid Qutbh” Artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2011 dari http://blogsaep.wordpress.com/2010/01/07/biografi-sayyid-quthb/.html
[2] Hudzaifah, “Sayyid Qutubh, Tokoh Intelektual Sejati” Artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2011 dari http://www.hudzaifah.org/Article188.html
[3] Wikipedia, “Sayyid Qutbh” Artikel diakses pada tanggal 27 Maret 2011 dari http://en.wikipedia.org/wiki/Sayyid_Qutb.html
[4] BlogSaep, “Biografi Sayyid Qutbh”.
[5] Ibid.
[6] Sayyid Qutbh, Keadilan Sosial Dalam Islam (Bandung: Pustaka, 1994), h. 34.
[7] Ibid, h. 35-37.
[8] Ibid, h. 37.
[9] Ibid, h. 45-46.
[10] Ibid, h. 49-50.
[11] John L. Esposito. Dinamika Kebangunan Islam: Watak, Proses dan tantangan (Jakarta: CV. Rajawali, 1987), h. 88.
[12] Sayyid Qutbh, Keadilan Sosial Dalam Islam, h. 60.
[13] Ibid, h. 64.
[14] Ibid, h. 70-71.
[15] Ibid, h. 80-93.
[16] John L. Esposito. Dinamika Kebangunan Islam, h. 90.
[17] Sayyid Qutbh, Keadilan Sosial Dalam Islam , h. 122-125.
[18] John L. Esposito. Dinamika Kebangunan Islam, h. 103.
[19] Sayyid Qutbh, Keadilan Sosial Dalam Islam, h. 126-129.
[20] Ibid, h. 129.
[21] Ibid, h. 129-130.
[22] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal Hingga Nalar Kritis Arkoun (Bandung: Mizan, 2000), h. 127.
[23] [23] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, h. 125.
[24] Sayyid Qutbh, Keadilan Sosial Dalam Islam, h. 131-133.
[25] Ibid, h. 133-134.
[26] Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik, h. 126.
[27] Ibid, h. 125.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar