I.
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Dunia
saat ini telah mengalami suatu masa yang disebut tahapan globalisasi. Barat
menggunakan globalisasi sebagai alat untuk bisa terus mencengkram kepentingan
mereka di setiap Negara-negara yang bergantung kepada Negara superior (Amerika
dan Eropa). Setelah selesainya Perang Dunia II dan Perang Dingin, Negara yang
tadinya berada dikekuasaan Uni Soviet perlahan mulai memecahkan diri dan
mencoba untuk mendirikan sebuah Negara baru dengan tujuan melepaskan diri dari
induk negaranya yaitu Uni Soviet. Negara-negara baru ini perlahan mulai
menapaki jejak pertumbuhan negaranya dengan bantuan dari Negara superior yakni,
Amerika. Jadi dunia hanya dimiliki oleh satu penguasa yaitu Amerika.
Beralih kedalam daerah Timur Tengah yang menjadi mayoritas penduduknya beragama islam, walaupun dengan aliran-aliran yang berbeda dari setiap suku, Negara dan para penganut Mazhabnya. Negara-negara Timur Tengah mengalami proses globalisasi yang dashyat, dengan tanda atau bukti kebergantungannya Negara-negara Arab terhadap Amerika dengan kepentingan Sumber Daya Alam. Proses serba barat pun menjadi sebuah solusi dalam mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan dari adanya keuntungan yang besar dari hasil penjualan ekonomi Sumber Daya Alamnya, terutama Minyak Bumi dan Emas. Perilaku para pemimpin Negara atau pun sekaliber warga sipil yang bekerja pada pemerintah mengalami sebuah reduksi akhlak karena masuknya budaya barat yang bagaikan bola salju yang sulit untuk dihambat.
Dari semua yang dipaparkan diatas
hanya sebagian kecil dari pengaruh globalisasi terhadap Negara-negara di dunia.
Dimana Negara-negara tidak lagi mengejar keutuhan sebuah tujuan dari
terciptanya mahkluk tetapi lebih mengejar kepentingan materialism duniawi dalam
kehidupannya. Kita mulai masuk terhadap agama islam bila dihubungkan dengan
fenomena globalisasi tersebut. Dampak yang negative seperti yang telah penulis
utarakan jelas sekali bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai
islam yang tidak mengedepankan nilai materialism sebagai suatu yang jauh lebih
penting ketimbang akhlak.
Mereka
mengkhawatirkan akan kebangkitan umat islam dalam kancah dunia. Kekhawatiran
mereka muncul akibat dari sejarah panjang orang barat terhadap umat islam pada
masa lampau. Dimana ketika kejayaan islam, bangsa barat hanya sekedar sebagai
bangsa yang barbar. Dengan setelah perkembangan masanya ketiga factor besar
yakni runtuhnya bani abbasiyah, hancurnya islam di Andalusia dan perang salib
menjadikan barat mendapatkan peradaban yang besar akibat kehancuran islam pada
saat itu. Barat mulai mengalami proses Renaisance dalam peradabannya.
Bagaimana sikap umat islam
seharusnya dalam menghadapi proses globalisasi yang menjadikan islam tereduksi
nilai-nilai islamnya dalam implikasi globalisasi yang didapatkan mereka?
Pertanyaan inilah yang akan diangkat dalam pembahasan makalah kali ini.
pertanyaan ini menjadi pertanyaan besar karena bagaimana pun juga banyak
kelompok islam yang merasa kecewa akan adanya globalisasi dan juga ada yang
merasa diuntungkan dalam praktik globalisasi.
II.
Permasalahan
Dari
dampak gloablisasi yang cenderung menjadikan umat islam tereduksi nilai-nilai
keislamannya. Menjadikan suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab, yakni
bagaimana umat islam dalam mengahadapi dampak globalisasi ini?. Pertanyaan
inilah yang sekiranya penulis usahakan untuk memaparkan bagaimana seluk beluk
globalisasi terhadap umat islam dalam konteks politik.
III.
Pemabahasan
A.
Persfektif
Monolitis terhadap umat islam
Islam menjadi suatu pembahasan yang
penting di barat. Isu-isu terorisme atau gerakan yang radikal selalu
diidentikan terhadap islam. Itu terlihat dari suatu tragedy 11 September dengan
runtuhnya gedung WTC. Bush sebagai Presiden Amerika saat itu memberikan label
yang keras terhadap umat islam bahwasanya penggerak dibalik tragedy tersebut
adalah islam, dan mereka mulai menyatakan perang terhadap terorisme dengan
islam sebagai label nya.
Gerakan radikalisme teroris yang
menggoncangkan tataran keamanan dunia menjadi suatu ketakutan baru. Kemanan
nasional dan internasioanal menjadi dipentingkan untuk mencegah gerakan
terorisme untuk tidak mendapatkan celah dalam aksi-aksi terror mereka yang
keras. Amerika dan para pengikutnya menyerukan untuk membasmi dan menjaga ketat
terhadap gerakan teroris yang menganggu tataran dunia yang mereka ingin
dirikan. Akan tetapi yang mereka kejar dan memberikan label teroris adalah
segala yang tentang islam.
Pada
dasarnya pertentangan terhadap globalisasi diakibatkan karena sikap yang
monolitis oleh pihak barat terhadap umat islam. Barat menjadikan globalisasi
sebagai suatu alat untuk bisa mengontrol dan menguasai kedaulatan Negara-negara
yang masih berkembang. Dengan alasan bahwa globalisasi itu dapat menguntungkan
pihak-pihak Negara di seluruh dunia apabila setiap Negara mau ikut andil
terhadap kegiatan globalisasi. Pihak islam menjadi factor utama atas sikap
barat tersebut, atas ketakutan barat terhadap islam maka barat tidak
tanggung-tanggung untuk menjadikan islam sebagai objek untuk kemajuan bangsa
barat. Persfektif yang monolitis inilah bagaimana umat islam menjadi suatu
hambatan bagi barat dalam mempertahankan status kekuasaanya di dunia. [1]
Mereka meyakini bahwa islam adalah suatu yang
berbahaya dan harus diawasi perkembangannya. Dengan era globalisasi ini,
radikalisme semakin menjadi jadi. Teroris dan globalisasi menjadi analogi
seperti tikus di dalam istana. Barat dengan globalisasinya dan teroris dengan
aksi terrornya menjadi penilaian yang buruk terhadap umat islam. Dari setiap
serangan aksi teroris selalu diindetikan sebagai islam. Hal ini lah yang harus
kita ubah dari panndangan barat yang monolitis terhadap islam.
B.
Globalisasi
Globalisasi
adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara
menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah
suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling
berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang
melintasi batas Negara.
Menurut asal
katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau
perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh
wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar
definisi kerja (working definition),
sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya
sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah,
atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia
makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau
kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi
dan budaya
masyarakat.
Di sisi lain,
ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa
saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut
pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling
mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi
dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia,
bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte
merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun
1985.[2]
Globalisasi
menjadi perhatian para ilmuwan social dan politik. Ini dikarenakan begitu
luasnya konsep yang para ilmuwan sendiri tidak terdapat kesepakatan mengenai
definisi yang sesuai mengenai globalisasi. Mereka cenderung mendefinisikan
globalisasi dengan lebih menekankan aspek-aspek tertentu yang dipentingkan
menurut minat dan fenomena yang hendak dijelaskan, sementara pada saat yang
sama cenderung mengabaikan aspek-aspek yang lain. Dalam melihat globalisasi,
para ilmuwan terbagi kedalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis yang
memandang globalisasi sebagai sejarah baru kehidupan manusia dimana ‘negara
tradisional tidak lagi relevan, lebih-lebih tidak mungkin menjadi unit-unit
bisnis dalam sebuah ekonomi global. Kelompok kedua, yakni kelompok skeptic yang
memandang globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi
mempunyai akar sejarah panjang. Kelompok ketiga adalah kelompok
transformasionalis yang memandang adanya keyakinan bahwa pada permulaan
milineum baru, globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan
social, ekonomi dan politik yang menentukan kembali masyarakat modern dan
tatanan dunia baru.[3]
Pertentangan
di ketiga kelompok ini memunculkan konsep yang lebih luas lagi tentang pengaruh
globalisasi terhadap Negara-negara dunia. Hampir sebagian seluruh Negara di
dunia sekarang ini memilih untuk menggunakan konsep Demokrasi sebagai system
yang ideal bagi mereka. Ini tidak lain atas impilkasi besar yang dilahirkan
globalisasi oleh barat dalam memonolitiskan nasionalisme bangsa, budaya dan agama
di setiap Negara dunia. Bisa kita lihat bagaimana wilaya-wilayah timur tengah
yang tadinya mempunyai ikatan yang kuat terhadap agama, bangsa dan budaya,
menjadi lebih mementingkan kepentingan Negara sendiri.
- Respon Umat Islam terhadap Globalisasi
Dalam
menghadapi era globalisasi, Islam tidak pernah menutup diri. Islam adalah
sebuah doktrin agama yang menghendaki pemeluknya untuk dapat hidup lebih baik
dan lebih maju. Apalagi di era globalisasi, tentu Islam membuka pintu
selebar-lebarnya agar pemeluknya dapat hidup dalam kemudahan dan kemodernan.
Menurut Dr.
Yusuf al-Qardhawi, ada tiga sikap manusia terhadap globalisasi. Dua sikap
sangat ekstrim dan satu sikap moderat. Pertama, mereka yang demikian bergairah
dan semangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka adalah orang-orang yang
berenang di atas gelombangnya yang berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan
tanpa reserve. Sedangkan pada sisi lain yang terjadi adalah kebalikan
yang pertama. Mereka adalah kaum yang melarikan diri dari medan pertempuran.
Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang
berkembang. Sikap ini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk
berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Golongan ini adalah golongan
orang-orang yang berpegang teguh dengan semua yang berbau klasik dan
tradisional dan sangat anti terhadap segala yang baru. Sedangkan kelompok
moderat, dan ini yang dipilih Qardhawi, adalah kelompok yang mewakili
orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dengan pandangan
jeli dan kritis. Satu sikap seorang mukmin dan kuat yang terbuka, yang bangga
dengan identitas dirinya, yang sadar akan misinya yang berpegang teguh dengan
orisinilitas ajaran agamanya, yang yakin akan keuniversalannya dan yakin akan
peradaban umatnya[4].
D.
Fundamentalisme
Dalam Bentuk Radikalisme Islam dan Globalisasi
Fenomena sikap
kelompok fundamentalis yang menganggap anti barat. Segala tentang barat di
anggap kafir. Dan selalu berusaha mempropagandakan tentang jihad di jalan Allah
dalam memerangi orang kaifr (Barat). Menjadikan nilai yang negative tersendiri
bagi masa depan politik islam. Kelompok ini memandang untuk menyerukan kembali
kepada akar keaslian islam. Mereka menyalahkan para elit politik ketika mereka
memilih ideology Sekuler, Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi.
Tema semua
gerakan islam hampir di seluruh belahan dunia berkisar pada dua hal, protes
melawan kemrosotan internal dan serangan eksternal. Fenomena ini muncul atas
respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan Globalisasinya. Gerakan-gerakan
yang radikal ini disebabkan oleh beberapa factor: factor perlawanan terhadap
barat yang hegemonic dan terlalu ikut campur terhadap masalah-masalah
Negara-negara islam atau yang mayoritas islam. Pendukung “islam sebagai
alternative” mengkehendaki peruabahan radikal dalam system social politik
kearah ketentuan-ketentuan islam. Para ideology kontemporer tentang revivalisme
ini antara lain, Khomeini, Hasan Al-Bana, Sayyid Qutb, Al-Maududi, Muhammad
Bawir Sadr, Abdussalam Faraq, Said Hawwa, dan Juhaiman Al-utaibi. Dari para
tokoh tersebut Sayyid Qutb, Hasan Al-Bana, dan Al-maududi merupakan tokoh yang
paling berpengaruh. Penafsiran mereka tentang islam, banyak memberikan landasan
tentang kebangkitan umat islam masa kini, pandangan dunia sekaligus cara yang
mesti ditempuh.
Para penganjur
revivalisme ini, meskipun memiliki berbagai macam pemikiran, mereka meletakkan
prinsip-prinsip pokok tertentu sebagai kerangka ideologis kebangkitan islam.
Prinsip-prinsip itu yakni islam sebagai kehidupan yang total, yang secara
universal dapat diterapkan di berbagai macam keadaan, tempat dan waktu.
Pemisahan agama dan Negara tidak dikenal dalam islam. Hukum syariah dan islam
bersifat inheren. Al-quran memberikan syariah dan Negara menegakkannhya. Kedua,
fondasi islam adalah Al-quran dan Sunnah dan tradisi para sahabatnya. Umat
islam diperintahkan untuk kembali pada akar-akar islam. Ketiga, puritanisme dan
keadilan social, umat islam diperintahkan untuk menjaga nilai-nilai islami,
baik dalam pergaulan dan pembagian peran laki-laki dan perempuan, maupun
kehidupan sehari-hari. Mereka wajib membentengi diri dari budaya asing.
Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Tujuan umat islam
adalah menegakan kedaulatan Allah di muka bumi. Kelima, jihad sebagai pilar
menuju Nizam Islami. Untuk mewujudkan tatanan islam, perlu upaya yang
sungguh-sungguh.[5]
Dengan dasar
pemikiran dan factor-faktor diatas, banyak bermunculan terhadap gerakan-gerakan
poltik islam. Seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah
(Al-Maududi), FIS dan lain-lain. Mereka bergerak kedalam suatu orientasi
tentang penegakan hukum syariah dan berdirinya Negara islam (khilafah). Dalam
perjuanganya, bentuk gerakan mereka adalah radikal, keras, fundamental, salafi
yang menolak adanya suatu gagasan system pemerintahan selain islam adalah
Kufur, seperti Demokrasi, contoh real di Mesir, bagaimana ikhwanul Muslimin
terus berupaya menjadi oposisi pemerintahan untuk dapat mencapai suatu
cita-cita politik islam sampai saat ini. IM (Ikhwanul Muslimin) selalu berusaha
mempropagandakan tentang doktrin-doktrin mereka ke seluruh umat muslim di
seluruh dunia. Hasilnya adalah munculnya gerakan-gerakan islam baru yang
berasal dari pecahan IM.
Sebenarnya
kelompok ini memandang bagaimana penitngnya Negara islam didasarkan kepada
Negara madinah yang didirikan oleh nabi Muhammad SAW. Namun dokumen yang biasa
disebut Konstitusi Madinah, yang terlihat merupakan dasar kehidupan politik di
Madinah setelah hijrah, menunjukan bahwa pemerintahan tersebut bukanlah bentuk
baru, melainkan konfederasi suku-suku atau kelompok-kelompok kekerabatan
selaras dengan prinsip tradisional arab. Ketika Muhammad wafat dan Abu Bakar
menjadi khalifah, maka hal ini sebagiannya merupakan suatu perkembangan baru,
tetapi jabatan khalifah pada hakikatnya merupakan kepala atau sayyid suatu suku
federasi. Namun setelah hampir dua abad bentuk pemeritahan berubah lagi. Pada
945 khalifah abbasiyah secara praktis telah kehilangan kekuasaan politiknya.
Imperium islam dibagi-bagi di kalangan sultan atau panglima perang (Amir), yang
berkuasa diberbagai provinsi meskipun kekuasaan yang mereka miliki berasal dari
penguasa atas suatu pasukan. Butir-butir ini lah menjelaskan bagaimana islam
tidak mempunyai konsep Negara yang jelas.[6]
E.
Keterbukaan
Umat Islam Terhadap Globalisasi
Globalisasi
mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara berpikir kalangan cendikiawan islam
diseluruh dunia dalam masalah politik. Kalangan fundamentalis yang telah
dibahas diatas jelas-jelas tidak menerima suatu system politik ataupun ideology
politik selain berdasarkan ketentuan-ketentuan islam. Kekerasan dan tekstual
dalam penafsiran disetiap nashk-nashk Al-quran ataupun sunnah menjadikan mereka
bersikap menutup diri dari Globalisasi. Globalisasi membawa suatu system yang
dianggap relevan terhadap zaman, yakni Demokrasi. Demokrasi menjadi acuan bagi
banyak Negara untuk menjadikan suatu system tersebut sebagai suatu system yang
ideal.
Bahtiar
Effendy dalam tulisannya mengenai sintetis antara Demokrasi dan nilai-nilai
islam, menilai bahwa demokrasi tidak berbeda ataupun sangat menolak adanya
nilai-nilai islam. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa secara formal islam tidak
menjelaskan tentang konsep Negara islam yang jelas, rujukan para kalangan
fundamentalis hanya didasarkan pada sejarah Negara Madinah yang dibentuk Nabi
Muhammad. Islam secara subtantif menjelaskan tentang apa saja dalam beretika
politik. Unsur-unsur dasar demokrasi dipengaruhi, dibentuk
dan diperkaya oleh kultur dan stuktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan
praktik demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat
setempat, misal, bentuk tingkat dan kualitas demokrasi di Amerika serikat
berbeda dengan konsep dan praktik
demokrasi yang berkembang di asia Timur, atau eropa Barat berbeda.
Unsur-unsur dasar pokok dari demokrasi, yakni meliputi: Adanya proses rekrutmen
elit melalui pemilihan yang jujur dan bebas dan Hak masyarakat untuk memilih.
Sejauh system politik sebuah Negara itu didasarkan atas prinsip-prinsip
konsultasi, keadilan, dan persamaan, adalah cukup untuk mengatakan bahwa
dasar-dasar nitu berkesesuaian dengan ajaran islam. Adanya pendekatan yang
bersifat substansialistik terhadap ajaran islam yang diharapkan dapat mendorong
terciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara islam dan demokrasi.[7]
Globalisasi
dengan demokrasi sebagai system yang ideal bagi kondisi dunia saat ini, bahwa
demokrasi tidak berbeda terhadap nilai-nilai islam. Dalam nilai-nilai demokrasi
terdapat kesesuaian terhadap nilai islam yang substantive. Tidak salah jika kita
mencermati demokrasi sebagai suatu yang sintesa. Kita tidak boleh menutup diri
terhadap demokrasi apalagi system tersebut dianggap kufur. Itulah sekiranya
yang dijadikan patokan oleh para kelompok islam yang terbuka terhadap
globalisasi tetapi tetap bersikap kritis dan mencoba mencari sebuah sintesis.
Penerapan
demokrasi ini diterima khususnya oleh civil society karena mereka, terutama
sekali cenderung untuk mempertahankan keuntungan-keuntungan social yang
ditimbulkan oleh globalisasi.[8]
Dalam globalisasi, terdapat sebuah keuntungan besar bagi kalangan umat islam
yang terbuka melihat globalisasi, bukan yang monolitis terhadap globalisasi.
Romantisme islam yang dulu menjadi acuan bagi revolusi islam hanya menjadikan
umat islam terjebak dalam keadaan yang stagnan dan malah saling berebut
kekuaasaan karena doktrin yang mereka anut saling berbeda.
Dengan sikap
umat islam yang keras atau radikal dalam berbagai perjuangan menuju cita-cita
poltik islam. Menurut pihak barat terdapat kekhwatiran dari aksi-aksi tersebut,
pertama islam politik menggrogoti demokrasi. Kedua, politisasi ideology dan
symbol islam ke dalam kehidupan public masyarakat muslim. [9]Karena
kedua alasan itu,islam politik sangat identik dengan kekerasan. Kalangan umat
islam yang terbuka inilah bertujuan untuk mengubah pandangan islam poltik yang
tadinya mendapat label negative, menjadi kembali mendapatkan tempat dalam
perjungannya. Menurut mereka kalangan
yang radikal itu hanya menjadikan batu sandungan untuk bersikap terhadap
globalisasi. Globalisasi harus dilihat sebagai keuntungan dalam menyikapi
tataran duunia dan mewujudkan citra islam yang baik dalam menuju cita-cita
politik islam yang sesuai dengan islam sebenarnya.
IV.
Kesimpulan
Umat islam
terbagi kedalam beberapa kelompok dalam menyikapi globalisasi. Ada yang menolak
keras terhadap globalsiasi, karena globalisasi hanya membawa kepada sikap yang
berlawanan terhadap nilai-nilai islam. Dengan menjadikan sikap-sikap yang
radikal yang berakhir kepada penlabelan teroris terhadap umat islam, dan justru
itu sangat merugikan umat islam. Dan ada kalangan umat islam yang berupaya untuk mencari sebuah
keuntungan dari dampak globalsiasi, mereka menggunakan akal dan sikap kritisnya
dalam menilai sebuah pengaruh yang besar dari globalisasi. Kalangan ini lah
yang menjadikan sikap terbaik dalam mencapai untuk menuju sebuah cita-cita
politik islam. Bukan malah memberikan perlawanan dengan aksi-aksi yang pada
ujungnya memberikan nilai yang buruk terhadap umat islam sendiri.
[1] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan
Politik Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, cet. 1), h. 311.
[2] Globalisasi, “Pengertian
Globalisasi,” Artikel diakses pada tanggal 18 Januari 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
[3] Budi Winarno, Globalisasi
dan Krisisi Demokrasi . (Yogyakarta: Medpress,2003 ), h. 11- 14.
[4] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Islam
Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan ,( Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2000, cet. 1), h. 2.
[5] Rahmat M. Imdadun, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi
Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga,
2005), h. 13.
[6] Prof. William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo, 1997), h. 187.
[7] M. Nasir dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Perdaban,
(Jakarta: Paramadina, 1996), h. 85-100.
[8] Farhad Daftary, Tradisi-Tradsi Intelektual Islam,
(Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 268.
[9] Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik
Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), h. 17-21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar