Sabtu, 29 Januari 2011

Islam dan Globalisasi


I.                   Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Dunia saat ini telah mengalami suatu masa yang disebut tahapan globalisasi. Barat menggunakan globalisasi sebagai alat untuk bisa terus mencengkram kepentingan mereka di setiap Negara-negara yang bergantung kepada Negara superior (Amerika dan Eropa). Setelah selesainya Perang Dunia II dan Perang Dingin, Negara yang tadinya berada dikekuasaan Uni Soviet perlahan mulai memecahkan diri dan mencoba untuk mendirikan sebuah Negara baru dengan tujuan melepaskan diri dari induk negaranya yaitu Uni Soviet. Negara-negara baru ini perlahan mulai menapaki jejak pertumbuhan negaranya dengan bantuan dari Negara superior yakni, Amerika. Jadi dunia hanya dimiliki oleh satu penguasa yaitu Amerika.

Beralih kedalam daerah Timur Tengah yang menjadi mayoritas penduduknya beragama islam, walaupun dengan aliran-aliran yang berbeda dari setiap suku, Negara dan para penganut Mazhabnya. Negara-negara Timur Tengah mengalami proses globalisasi yang dashyat, dengan tanda atau bukti kebergantungannya Negara-negara Arab terhadap Amerika dengan kepentingan Sumber Daya Alam. Proses serba barat pun menjadi sebuah solusi dalam mengalami perkembangan ekonomi yang signifikan dari adanya keuntungan yang besar  dari hasil penjualan ekonomi Sumber Daya Alamnya, terutama Minyak Bumi dan Emas. Perilaku para pemimpin Negara atau pun sekaliber warga sipil yang bekerja pada pemerintah mengalami sebuah reduksi akhlak karena masuknya budaya barat yang bagaikan bola salju yang sulit untuk dihambat.
            Dari semua yang dipaparkan diatas hanya sebagian kecil dari pengaruh globalisasi terhadap Negara-negara di dunia. Dimana Negara-negara tidak lagi mengejar keutuhan sebuah tujuan dari terciptanya mahkluk tetapi lebih mengejar kepentingan materialism duniawi dalam kehidupannya. Kita mulai masuk terhadap agama islam bila dihubungkan dengan fenomena globalisasi tersebut. Dampak yang negative seperti yang telah penulis utarakan jelas sekali bahwa hal tersebut sangat bertentangan dengan nilai-nilai islam yang tidak mengedepankan nilai materialism sebagai suatu yang jauh lebih penting ketimbang akhlak.
Mereka mengkhawatirkan akan kebangkitan umat islam dalam kancah dunia. Kekhawatiran mereka muncul akibat dari sejarah panjang orang barat terhadap umat islam pada masa lampau. Dimana ketika kejayaan islam, bangsa barat hanya sekedar sebagai bangsa yang barbar. Dengan setelah perkembangan masanya ketiga factor besar yakni runtuhnya bani abbasiyah, hancurnya islam di Andalusia dan perang salib menjadikan barat mendapatkan peradaban yang besar akibat kehancuran islam pada saat itu. Barat mulai mengalami proses Renaisance dalam peradabannya.
            Bagaimana sikap umat islam seharusnya dalam menghadapi proses globalisasi yang menjadikan islam tereduksi nilai-nilai islamnya dalam implikasi globalisasi yang didapatkan mereka? Pertanyaan inilah yang akan diangkat dalam pembahasan makalah kali ini. pertanyaan ini menjadi pertanyaan besar karena bagaimana pun juga banyak kelompok islam yang merasa kecewa akan adanya globalisasi dan juga ada yang merasa diuntungkan dalam praktik globalisasi.
II.                Permasalahan
Dari dampak gloablisasi yang cenderung menjadikan umat islam tereduksi nilai-nilai keislamannya. Menjadikan suatu pertanyaan yang sulit untuk dijawab, yakni bagaimana umat islam dalam mengahadapi dampak globalisasi ini?. Pertanyaan inilah yang sekiranya penulis usahakan untuk memaparkan bagaimana seluk beluk globalisasi terhadap umat islam dalam konteks politik.
III.             Pemabahasan
A.    Persfektif Monolitis terhadap umat islam
            Islam menjadi suatu pembahasan yang penting di barat. Isu-isu terorisme atau gerakan yang radikal selalu diidentikan terhadap islam. Itu terlihat dari suatu tragedy 11 September dengan runtuhnya gedung WTC. Bush sebagai Presiden Amerika saat itu memberikan label yang keras terhadap umat islam bahwasanya penggerak dibalik tragedy tersebut adalah islam, dan mereka mulai menyatakan perang terhadap terorisme dengan islam sebagai label nya.
            Gerakan radikalisme teroris yang menggoncangkan tataran keamanan dunia menjadi suatu ketakutan baru. Kemanan nasional dan internasioanal menjadi dipentingkan untuk mencegah gerakan terorisme untuk tidak mendapatkan celah dalam aksi-aksi terror mereka yang keras. Amerika dan para pengikutnya menyerukan untuk membasmi dan menjaga ketat terhadap gerakan teroris yang menganggu tataran dunia yang mereka ingin dirikan. Akan tetapi yang mereka kejar dan memberikan label teroris adalah segala yang tentang islam.
Pada dasarnya pertentangan terhadap globalisasi diakibatkan karena sikap yang monolitis oleh pihak barat terhadap umat islam. Barat menjadikan globalisasi sebagai suatu alat untuk bisa mengontrol dan menguasai kedaulatan Negara-negara yang masih berkembang. Dengan alasan bahwa globalisasi itu dapat menguntungkan pihak-pihak Negara di seluruh dunia apabila setiap Negara mau ikut andil terhadap kegiatan globalisasi. Pihak islam menjadi factor utama atas sikap barat tersebut, atas ketakutan barat terhadap islam maka barat tidak tanggung-tanggung untuk menjadikan islam sebagai objek untuk kemajuan bangsa barat. Persfektif yang monolitis inilah bagaimana umat islam menjadi suatu hambatan bagi barat dalam mempertahankan status kekuasaanya di dunia. [1]
            Mereka  meyakini bahwa islam adalah suatu yang berbahaya dan harus diawasi perkembangannya. Dengan era globalisasi ini, radikalisme semakin menjadi jadi. Teroris dan globalisasi menjadi analogi seperti tikus di dalam istana. Barat dengan globalisasinya dan teroris dengan aksi terrornya menjadi penilaian yang buruk terhadap umat islam. Dari setiap serangan aksi teroris selalu diindetikan sebagai islam. Hal ini lah yang harus kita ubah dari panndangan barat yang monolitis terhadap islam.
B.     Globalisasi
            Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit. Globalisasi adalah suatu proses di mana antar individu, antar kelompok, dan antar negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas Negara.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.[2]
Globalisasi menjadi perhatian para ilmuwan social dan politik. Ini dikarenakan begitu luasnya konsep yang para ilmuwan sendiri tidak terdapat kesepakatan mengenai definisi yang sesuai mengenai globalisasi. Mereka cenderung mendefinisikan globalisasi dengan lebih menekankan aspek-aspek tertentu yang dipentingkan menurut minat dan fenomena yang hendak dijelaskan, sementara pada saat yang sama cenderung mengabaikan aspek-aspek yang lain. Dalam melihat globalisasi, para ilmuwan terbagi kedalam tiga kelompok, yakni kelompok hiperglobalis yang memandang globalisasi sebagai sejarah baru kehidupan manusia dimana ‘negara tradisional tidak lagi relevan, lebih-lebih tidak mungkin menjadi unit-unit bisnis dalam sebuah ekonomi global. Kelompok kedua, yakni kelompok skeptic yang memandang globalisasi bukanlah merupakan fenomena yang sama sekali baru, tetapi mempunyai akar sejarah panjang. Kelompok ketiga adalah kelompok transformasionalis yang memandang adanya keyakinan bahwa pada permulaan milineum baru, globalisasi merupakan kekuatan utama di balik perubahan-perubahan social, ekonomi dan politik yang menentukan kembali masyarakat modern dan tatanan dunia baru.[3]
Pertentangan di ketiga kelompok ini memunculkan konsep yang lebih luas lagi tentang pengaruh globalisasi terhadap Negara-negara dunia. Hampir sebagian seluruh Negara di dunia sekarang ini memilih untuk menggunakan konsep Demokrasi sebagai system yang ideal bagi mereka. Ini tidak lain atas impilkasi besar yang dilahirkan globalisasi oleh barat dalam memonolitiskan nasionalisme bangsa, budaya dan agama di setiap Negara dunia. Bisa kita lihat bagaimana wilaya-wilayah timur tengah yang tadinya mempunyai ikatan yang kuat terhadap agama, bangsa dan budaya, menjadi lebih mementingkan kepentingan Negara sendiri.
  1. Respon Umat Islam terhadap Globalisasi
Dalam menghadapi era globalisasi, Islam tidak pernah menutup diri. Islam adalah sebuah doktrin agama yang menghendaki pemeluknya untuk dapat hidup lebih baik dan lebih maju. Apalagi di era globalisasi, tentu Islam membuka pintu selebar-lebarnya agar pemeluknya dapat hidup dalam kemudahan dan kemodernan.
Menurut Dr. Yusuf al-Qardhawi, ada tiga sikap manusia terhadap globalisasi. Dua sikap sangat ekstrim dan satu sikap moderat. Pertama, mereka yang demikian bergairah dan semangat menyambut datangnya globalisasi. Mereka adalah orang-orang yang berenang di atas gelombangnya yang berinteraksi dengannya tanpa ada batas dan tanpa reserve. Sedangkan pada sisi lain yang terjadi adalah kebalikan yang pertama. Mereka adalah kaum yang melarikan diri dari medan pertempuran. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahu pola pemikiran apa yang sedang berkembang. Sikap ini banyak diambil oleh orang-orang yang merasa takut untuk berhadapan dan berinteraksi dengan orang lain. Golongan ini adalah golongan orang-orang yang berpegang teguh dengan semua yang berbau klasik dan tradisional dan sangat anti terhadap segala yang baru. Sedangkan kelompok moderat, dan ini yang dipilih Qardhawi, adalah kelompok yang mewakili orang-orang yang bersikap terbuka terhadap globalisasi, namun dengan pandangan jeli dan kritis. Satu sikap seorang mukmin dan kuat yang terbuka, yang bangga dengan identitas dirinya, yang sadar akan misinya yang berpegang teguh dengan orisinilitas ajaran agamanya, yang yakin akan keuniversalannya dan yakin akan peradaban umatnya[4].
D.    Fundamentalisme Dalam Bentuk Radikalisme Islam dan Globalisasi
Fenomena sikap kelompok fundamentalis yang menganggap anti barat. Segala tentang barat di anggap kafir. Dan selalu berusaha mempropagandakan tentang jihad di jalan Allah dalam memerangi orang kaifr (Barat). Menjadikan nilai yang negative tersendiri bagi masa depan politik islam. Kelompok ini memandang untuk menyerukan kembali kepada akar keaslian islam. Mereka menyalahkan para elit politik ketika mereka memilih ideology Sekuler, Nasionalisme, Sosialisme dan Demokrasi.
Tema semua gerakan islam hampir di seluruh belahan dunia berkisar pada dua hal, protes melawan kemrosotan internal dan serangan eksternal. Fenomena ini muncul atas respon Muslim terhadap sekularisme Barat dan Globalisasinya. Gerakan-gerakan yang radikal ini disebabkan oleh beberapa factor: factor perlawanan terhadap barat yang hegemonic dan terlalu ikut campur terhadap masalah-masalah Negara-negara islam atau yang mayoritas islam. Pendukung “islam sebagai alternative” mengkehendaki peruabahan radikal dalam system social politik kearah ketentuan-ketentuan islam. Para ideology kontemporer tentang revivalisme ini antara lain, Khomeini, Hasan Al-Bana, Sayyid Qutb, Al-Maududi, Muhammad Bawir Sadr, Abdussalam Faraq, Said Hawwa, dan Juhaiman Al-utaibi. Dari para tokoh tersebut Sayyid Qutb, Hasan Al-Bana, dan Al-maududi merupakan tokoh yang paling berpengaruh. Penafsiran mereka tentang islam, banyak memberikan landasan tentang kebangkitan umat islam masa kini, pandangan dunia sekaligus cara yang mesti ditempuh.
Para penganjur revivalisme ini, meskipun memiliki berbagai macam pemikiran, mereka meletakkan prinsip-prinsip pokok tertentu sebagai kerangka ideologis kebangkitan islam. Prinsip-prinsip itu yakni islam sebagai kehidupan yang total, yang secara universal dapat diterapkan di berbagai macam keadaan, tempat dan waktu. Pemisahan agama dan Negara tidak dikenal dalam islam. Hukum syariah dan islam bersifat inheren. Al-quran memberikan syariah dan Negara menegakkannhya. Kedua, fondasi islam adalah Al-quran dan Sunnah dan tradisi para sahabatnya. Umat islam diperintahkan untuk kembali pada akar-akar islam. Ketiga, puritanisme dan keadilan social, umat islam diperintahkan untuk menjaga nilai-nilai islami, baik dalam pergaulan dan pembagian peran laki-laki dan perempuan, maupun kehidupan sehari-hari. Mereka wajib membentengi diri dari budaya asing. Keempat, kedaulatan dan hukum Allah berdasarkan syariat. Tujuan umat islam adalah menegakan kedaulatan Allah di muka bumi. Kelima, jihad sebagai pilar menuju Nizam Islami. Untuk mewujudkan tatanan islam, perlu upaya yang sungguh-sungguh.[5]
Dengan dasar pemikiran dan factor-faktor diatas, banyak bermunculan terhadap gerakan-gerakan poltik islam. Seperti Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Jamaah Islamiyah (Al-Maududi), FIS dan lain-lain. Mereka bergerak kedalam suatu orientasi tentang penegakan hukum syariah dan berdirinya Negara islam (khilafah). Dalam perjuanganya, bentuk gerakan mereka adalah radikal, keras, fundamental, salafi yang menolak adanya suatu gagasan system pemerintahan selain islam adalah Kufur, seperti Demokrasi, contoh real di Mesir, bagaimana ikhwanul Muslimin terus berupaya menjadi oposisi pemerintahan untuk dapat mencapai suatu cita-cita politik islam sampai saat ini. IM (Ikhwanul Muslimin) selalu berusaha mempropagandakan tentang doktrin-doktrin mereka ke seluruh umat muslim di seluruh dunia. Hasilnya adalah munculnya gerakan-gerakan islam baru yang berasal dari pecahan IM.
Sebenarnya kelompok ini memandang bagaimana penitngnya Negara islam didasarkan kepada Negara madinah yang didirikan oleh nabi Muhammad SAW. Namun dokumen yang biasa disebut Konstitusi Madinah, yang terlihat merupakan dasar kehidupan politik di Madinah setelah hijrah, menunjukan bahwa pemerintahan tersebut bukanlah bentuk baru, melainkan konfederasi suku-suku atau kelompok-kelompok kekerabatan selaras dengan prinsip tradisional arab. Ketika Muhammad wafat dan Abu Bakar menjadi khalifah, maka hal ini sebagiannya merupakan suatu perkembangan baru, tetapi jabatan khalifah pada hakikatnya merupakan kepala atau sayyid suatu suku federasi. Namun setelah hampir dua abad bentuk pemeritahan berubah lagi. Pada 945 khalifah abbasiyah secara praktis telah kehilangan kekuasaan politiknya. Imperium islam dibagi-bagi di kalangan sultan atau panglima perang (Amir), yang berkuasa diberbagai provinsi meskipun kekuasaan yang mereka miliki berasal dari penguasa atas suatu pasukan. Butir-butir ini lah menjelaskan bagaimana islam tidak mempunyai konsep Negara yang jelas.[6]
E.     Keterbukaan Umat Islam Terhadap Globalisasi
Globalisasi mempunyai pengaruh yang besar terhadap cara berpikir kalangan cendikiawan islam diseluruh dunia dalam masalah politik. Kalangan fundamentalis yang telah dibahas diatas jelas-jelas tidak menerima suatu system politik ataupun ideology politik selain berdasarkan ketentuan-ketentuan islam. Kekerasan dan tekstual dalam penafsiran disetiap nashk-nashk Al-quran ataupun sunnah menjadikan mereka bersikap menutup diri dari Globalisasi. Globalisasi membawa suatu system yang dianggap relevan terhadap zaman, yakni Demokrasi. Demokrasi menjadi acuan bagi banyak Negara untuk menjadikan suatu system tersebut sebagai suatu system yang ideal.
Bahtiar Effendy dalam tulisannya mengenai sintetis antara Demokrasi dan nilai-nilai islam, menilai bahwa demokrasi tidak berbeda ataupun sangat menolak adanya nilai-nilai islam. Ia lebih lanjut menyatakan bahwa secara formal islam tidak menjelaskan tentang konsep Negara islam yang jelas, rujukan para kalangan fundamentalis hanya didasarkan pada sejarah Negara Madinah yang dibentuk Nabi Muhammad. Islam secara subtantif menjelaskan tentang apa saja dalam beretika politik. Unsur-unsur dasar demokrasi dipengaruhi, dibentuk dan diperkaya oleh kultur dan stuktur yang ada. Dengan kata lain, konsep dan praktik demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat, misal, bentuk tingkat dan kualitas demokrasi di Amerika serikat berbeda dengan konsep dan praktik  demokrasi yang berkembang di asia Timur, atau eropa Barat berbeda. Unsur-unsur dasar pokok dari demokrasi, yakni meliputi: Adanya proses rekrutmen elit melalui pemilihan yang jujur dan bebas dan Hak masyarakat untuk memilih. Sejauh system politik sebuah Negara itu didasarkan atas prinsip-prinsip konsultasi, keadilan, dan persamaan, adalah cukup untuk mengatakan bahwa dasar-dasar nitu berkesesuaian dengan ajaran islam. Adanya pendekatan yang bersifat substansialistik terhadap ajaran islam yang diharapkan dapat mendorong terciptanya sebuah sintesa yang memungkinkan antara islam dan demokrasi.[7]
      Globalisasi dengan demokrasi sebagai system yang ideal bagi kondisi dunia saat ini, bahwa demokrasi tidak berbeda terhadap nilai-nilai islam. Dalam nilai-nilai demokrasi terdapat kesesuaian terhadap nilai islam yang substantive. Tidak salah jika kita mencermati demokrasi sebagai suatu yang sintesa. Kita tidak boleh menutup diri terhadap demokrasi apalagi system tersebut dianggap kufur. Itulah sekiranya yang dijadikan patokan oleh para kelompok islam yang terbuka terhadap globalisasi tetapi tetap bersikap kritis dan mencoba mencari sebuah sintesis.
Penerapan demokrasi ini diterima khususnya oleh civil society karena mereka, terutama sekali cenderung untuk mempertahankan keuntungan-keuntungan social yang ditimbulkan oleh globalisasi.[8] Dalam globalisasi, terdapat sebuah keuntungan besar bagi kalangan umat islam yang terbuka melihat globalisasi, bukan yang monolitis terhadap globalisasi. Romantisme islam yang dulu menjadi acuan bagi revolusi islam hanya menjadikan umat islam terjebak dalam keadaan yang stagnan dan malah saling berebut kekuaasaan karena doktrin yang mereka anut saling berbeda.
Dengan sikap umat islam yang keras atau radikal dalam berbagai perjuangan menuju cita-cita poltik islam. Menurut pihak barat terdapat kekhwatiran dari aksi-aksi tersebut, pertama islam politik menggrogoti demokrasi. Kedua, politisasi ideology dan symbol islam ke dalam kehidupan public masyarakat muslim. [9]Karena kedua alasan itu,islam politik sangat identik dengan kekerasan. Kalangan umat islam yang terbuka inilah bertujuan untuk mengubah pandangan islam poltik yang tadinya mendapat label negative, menjadi kembali mendapatkan tempat dalam perjungannya.  Menurut mereka kalangan yang radikal itu hanya menjadikan batu sandungan untuk bersikap terhadap globalisasi. Globalisasi harus dilihat sebagai keuntungan dalam menyikapi tataran duunia dan mewujudkan citra islam yang baik dalam menuju cita-cita politik islam yang sesuai dengan islam sebenarnya.
IV.               Kesimpulan
Umat islam terbagi kedalam beberapa kelompok dalam menyikapi globalisasi. Ada yang menolak keras terhadap globalsiasi, karena globalisasi hanya membawa kepada sikap yang berlawanan terhadap nilai-nilai islam. Dengan menjadikan sikap-sikap yang radikal yang berakhir kepada penlabelan teroris terhadap umat islam, dan justru itu sangat merugikan umat islam. Dan ada kalangan umat  islam yang berupaya untuk mencari sebuah keuntungan dari dampak globalsiasi, mereka menggunakan akal dan sikap kritisnya dalam menilai sebuah pengaruh yang besar dari globalisasi. Kalangan ini lah yang menjadikan sikap terbaik dalam mencapai untuk menuju sebuah cita-cita politik islam. Bukan malah memberikan perlawanan dengan aksi-aksi yang pada ujungnya memberikan nilai yang buruk terhadap umat islam sendiri.


[1] Samuel P. Huntington, Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2007, cet. 1), h. 311.
[2] Globalisasi, “Pengertian Globalisasi,” Artikel diakses pada tanggal 18 Januari 2011 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Globalisasi.html
[3] Budi Winarno,  Globalisasi dan Krisisi Demokrasi . (Yogyakarta: Medpress,2003 ), h. 11- 14.
[4] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan ,( Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1), h. 2.
[5] Rahmat M. Imdadun, Arus Baru Islam Radikal, Transmisi Revivalisme Islam Timur Tengah Ke Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005), h. 13.
[6] Prof. William Montgomery Watt, Fundamentalisme Islam dan Modernitas, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1997), h. 187.
[7] M. Nasir dan Elza Peldi Taher, Agama dan Dialog Antar Perdaban, (Jakarta: Paramadina, 1996), h. 85-100.
[8] Farhad Daftary, Tradisi-Tradsi Intelektual Islam, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2001), h. 268.
[9] Mun’im A. Sirry, Membendung Militansi Agama, Iman dan Politik Dalam Masyarakat Modern, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2003), h. 17-21.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar